Pejuang Susu Nasional

34 0 0
                                    

Aku belum bisa lupa dan masih mampu membedakan mana siang dan mana malam. Kejadian ini terjadi di siang hari yang terik, disaat mata ini sangat lelah karena lupa tidur malam. Semoga aku tidak lupa untuk menceritakan hal ini.

Pejuang Susu Se-Nasional, saya sebut saja dia pejuang karena memang dia itu sedang berjuang mencari pelanggan, mengayuh sepeda, becak atau grobak modifikasi. Kau sebut apa itu, yang di bagian depannya disimpan dua kotak pendingin tempat susu kemasan seperti bantal.

Gerobak kebanggaannya itu dilengkapi juga dengan aki kecil yang berfungsi sebagai sumber aliran listrik yang menghidupkan pengeras suara dari tape recorder, kalau orang mendengar saat grobak itu melintas, pasti akan ikut bernyanyi : "Susu Nasional Murni...."

Si pejuang susu itu. Usianya mungkin tujuh tahun di bawah umur saya. Masih muda, masih mampu mengayuh sepeda dari Indonesia sampai ke Antartika, tapi dia tidak lanjut sekolah karena alasan biaya. Katanya sekarang dia kapan pun mau, bisa masuk sekolah, bukan belajar di kelas tapi dagang susu. Dia hidupi keluarga dan dirinya dengan hasil berjualan susu. Benar kan, dia itu pejuang.

Dia memakai kaus seragam berwarna putih biru. Bergambar sapi sebagai simbol bahwa susunya benar murni dari sapi. Celana jins ketat mengikuti bentuk kaki, warna biru dongker yang lusuh sobek bagian sana-sani ujungnya sebagai aksen dimasukan ke dalam sepatu boot hitam yang saya tebak bukan dari kulit sapi. Necis sekali memang sebagai penjual susu keliling. Bahkan, beberapa kali saya melihat dia lewat memakai topi koboy ala Andy /Rif.

"Gaya itu penting, jangan kita keren karena pekerjaan. Kerjaan yang jadi keren karena kita", begitu katanya saat aku tanya kenapa harus berpenampilan seheboh ini.

Dia selalu berhenti di depan toko saya. Untuk sekadar menukar uang receh atau membeli rokok juga minuman. Kesempatan itulah yang selalu membuat dirinya ada waktu mengobrol.

"Rambutmu kaku, pakai minyak rambut merk apa?" tanyaku

"Ini, walau angin badai, gak bakal rubah Mas.." jawab sambil menunjuk rambutnya.

Dia membuka tas kecilnya lalu mengelurkan sisir dan sampo kemasan sachet yang harganya lima ratus rupiah. "Ini rahasianya..." tunjuknya kepadaku.

"Wah... Kirain minyak rambut" aku terkejut, "bagaimana kalau hujan?"

"Berbusa lah... Hahaha" jawabnya, "menepi lah... Kambing saja yang tidak pernah sekolah menepi kalau hujan".

"Kambing takut basah, kamu takut berbusa", lanjut saya "mau ke mana sekarang?"

"Mau ke sana, keliling lagi, tapi makan dulu di warung Imas". Jawabnya

Warung Imas yang dia maksud adalah warung nasi yang ada di seberang sana, kira-kira 300 meter jaraknya dari toko saya. Imas yah Imas, nama salah satu anak pemilik warung nasi tersebut. Cantik dan manis orangnya, kadang berpakaian sedikit sexy, Jak Angel Serang Utara.

Sepengamatan saya memang Imas seperti itu. Penggemar Persija Jakarta, bahkan bukan hanya Imas, adik dan kakaknya semua Jak Mania. Walaupun mereka bukan asli Jakarta, walaupun mereka asli Serang Banten. Walaupun mereka buka warung nasi, meraka keluarga The Jak Mania. Warung nasi tapi penuh dengan aneka macam poster, spanduk, sticker dan musik berbau Persija.

"Sebenarnya Mas, kalau saja bukan Imas yang nunggu warung dan harganya murah, saya males makan di sana". Cerita si pejuang susu.

"Loh... Malas kenapa?" tanya saya

"Berisik... Sering stel lagu-lagu The Jak, sambil nyanyi-nyanyi kayak di stadiun bola" keluhnya, "saya kan makannya jadi buru-buru. Gak nyaman".

"Mereka keluarga The Jak, warung nasinya jadi konsep The Jak. Wajar lah" tenang saya.

"...." si pejuang itu diam.

"Kau suka sepak bola?" tanya saya

"Suka"

"Makan gratis suka?" tanya saya lagi

"Pasti" jawabnya

"Yasudah kamu saya teraktir makan sepuasnya di warung nasi Imas, asalkan..."

"Asalkan apa?"

"Asalkan kamu ke sana pakai baju viking" saya memberi sarat.

"Ah, cari perkara namanya itu Mas"

"Eh, bukan cari perkara tapi cari makan, kamu kesana makan aja, udah biasa aja, datang ke sana, pesan makan, terus makan, nanti lima menit kemudian saya susul kamu." Jelas saya kepada si pejuang.

"Aman gitu mas?"

"Dunia ini selalu aman jika manusianya saling menjaga. Mau gak?" desak saya.

Dia tercengung, memikirkan tawaran dari saya. Tawaran yang menurutnya mungkin seperti makan buah apa? Oh, iya, simalakama. Apa yang akan terjadi? Kalau dia ke sana pakai baju Viking, ke warung nasi milik keluarga The Jak.

Apa dia akan diusir?
Apa dia akan disambut sebagai keluarga?
Apakah dia tetap dilayani makan tapi tidak dikasih minum?
Apakah fanatisme akan membunuh nurani seseorang?

Pejuang itu. Pejuang susu itu berlalu. Mengayuh lagi ke arah warung nasi, mungkin lapar karena harus mengayuh dari depo tempat dia bekerja sampai kampung-kampung. Oh, pejuang susu nasional yang gagal aku pengaruhi. Aku kira fanatisme itu mungkin baik, tapi cenderung selalu melupakan perikemanusiaan.

15 September 2017, saat didatangi tukang susu nasional.

Opini Si Karung GoniTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang