Daging untuk Abah

48 17 13
                                    

Belahan bambu di raut sampai halus oleh Abah Mizan,  seorang veteran yang akan tetap  terlihat gagah berapa abad pun usianya,  di temani si kecil momon,  cicit dari Abah Mizan yang baru berusia 5 tahun, dengan rajin ia menghitung bambu hasil rautan Abah Uyutnya yang akan di pakai untuk menusuk sate esok hari. 
"Uyut,, kira-kira besok kita dapat daging Sapi atau Kambing ya?" tanya momon sambil menusuk-nusukan pelepah pisang yang ia sudah potong kecil-kecil. 
"Momon,  mau nya daging apa? "
"daging Kambing, Yut" jawabnya dengan wajah riang. 
"Mon,  kamu kan belum wajib puasa, nanti kalau sudah tidak kuat bilang sama uyut ya,  si gabriel tadi pagi bertelur, Momon tahu kan,  kalau telur Ayam kampung itu paling wenak rasanya"
"Waah,  pasti yahutt,  tapi Momon masih kuat, uyut. Puasa Arafah nya akan Momon tuntaskan saja,  kemarin saja Momon kuat, telur nya buat buka puasa aja, Yut"
Mendengar jawaban cicit nya, Mbah Mizan mengacungkan ke dua jempolnya, lalu mengajak Momon bangun dari tempat duduk nya untuk pergi ke musola Al-Munawaroh, mosula yang jaraknya 1 KM dari Rumah mereka, waktu masih menunjukan jam 11, namun sudah hal lumrah bagi mbah Mizan, duduk di musola menunggu Adzan, kebiasaan itu pun di ajarkan pada Momon sedari Momon kecil.

Suasana kantor kepala desa masih terlihat ramai, aku masih sabar seraya terus berdzikir agar kaos kaki yang ku jual 10 ribu/ 3 pasang ini akan segera habis terjual, beberapa orang berlalu lalang begitu saja seolah aku tak terlihat dan satu dua orang ibu-ibu datang menghampiri ku hendak membeli, namun pengumuman obral yang ku pasang sepertinya kurang menguntungkan bagi mereka,  hingga mereka menawar jadi 10 ribu/ 4 pasang,  susah payah aku menjelaskan bahwa aku hanya mengambil untung 500 perak saja, hasilnya ibu-ibu tersebut tetap membeli tapi di sertai dengan ocehan yang tak selesai-selesai. Ku melihat cahaya matahari kini semakin mengganas sudah waktu aku menggulung dagangan ku.

Mbah Mizan sedang berdzikir, tangannya mengusap-usap kepala Momon di Shaf pertama,  Momon nampaknya sangat pulas entah sudah berapa menit ia tertidur,  Muadzin yang akan mengumandangkan adzan datang dengan langkah yang sangat pelan mendekati Mbah Mizan, mengucap Salam lalu mencium tangan Mbah Mizan, muadzin muda tersebut mengisyartakan akan segera Adzan dzuhur,  mbah Mizan menganggukan kepala nya dan mempersilahkan Muadzin tersebut, mbah Mizan menepuk-nepuk pundak Momon,  tak lama Momon pun terbangun,  Mbah Mizan menggerakan tangannya seperti orang yang bertakbirotul ihrom,  Momon pun mengerti dan langsung pergi ke tempat wudhu. 

Aku duduk di masjid besar berwarna hijau dengan beberapa pohon besar yang rindang,  bau tak sedap menggelitik hidung ku namun aku bersyukur khidmat karna aroma tersebut datang dari kambing, domba dan sapi yang telah di ikat rapi di pelataran masjid, teringat 3 tahun lalu, sebelum ayah dan ibu tersenyum meninggalkan aku di bandara soekarna hatta, mereka hendak pergi ke mekkah menggenapi rukun Islam yang terakhir,  mereka mendidik ku dan merangkaikan mimpi-mimpi yang indah untuk ku namun kerangka tinggallah kerangka,  mereka tak kembali hingga saat ini,   apakah mereka mati? Jika mereka telah mati, Harusnya aku tahu dimana makamnya, apalah yang bisa ku lakukan dengan keterbatasan ku saat ini.
Tapi tak usah lah lagi bersedih, untuk apalah bersedih meratapi rasa kehilangan, jika nyawa dalam tubuh ku sendiri bukan milik ku. Bangkit dan melanjutkan hidup adalah satu-satunya pilihan yang tak bisa di tawar. 

Momon sedang mengaji di atas tempat tidurnya,  di dengarkan dengan saat teliti oleh mbah Mizan,  Momon terus menerus melantunkan ayat-ayat suci yang ia baca, mbah mizan seorang butu huruf,  baik huruf latin maupun arab, namun mbah mizan memiliki pendengaran dan ingatan yang  super jika mendengar Momon mengaji, esok pagi ia masih ingat apa saja yang di bacakan oleh momon.

Aku mengetuk pintu rumah,  saat itu ba'da isya belum terlalu malam, ku bukakan pintu ternyata baru saja Momon hendak membukaan kan pintu untuk ku namun terlebih dulu aku yang membuka nya,  ku lihat ujung jarinya meneken neken bibir nya, aku memberi isyarat iyah,  Momon menghampiri ku ingin membantu membawa buntalan kaos kaki namun ku perintahkan ia untuk tetap duduk, Abah terlihat lelap di atas sajadahnya, saat aku membuka pakaian ku,  momon pergi ke arah dapur dan aku yakin ia akan menyiapkan makanan untuk ku, air hangat saat aku mandi bisa sejenak melemaskan syaraf tubuh ku,  melupakan beban hari ini. Selesai mandi aku telah di suguhkan nasi dengan 1/4 telur beserta kukusan daun singkong dan garam, Momon pasti memotong bagiannya menyisakannya untuk ku,  aku memakannya dengan lahap posisi momon pun berpindah di belakang tubuh ku,  telapak tangannya yang mungkil memijat-mijat pundak ku. Ia bercerita tentang hari ini,  tentang tusuk sate buatannya untuk menyambut daging qurban esok hari, ia juga bercerita tentang tabungannya yang bertambah menjadi 20ribu,  karena menjual tusuk sate. Uang itu akan ia gunakan untuk membeli Al-Quran terjemahan,  Momon sudah bisa membaca berkat Teh Saroh,  tetangga kami yang seorang guru PAUD, dan Momon sangat ingin tahu arti dari bacaan arab yang ia baca di Al-Quran.
 
04.45 pagi, jumat 01 2017

"Husein?" panggil Abah membangunkan ku,  mata ku sangat berat dan tubuh ku sangat pegal untuk di ajak bergerak,  aku hanya menggeram. 
"bangun Abang!,  siap-siap solat Ied,  nanti terlambat tak dapat daging kita" seru Momon dengan menggoyang-goyangkan kaki ku, akupun bangun dan bersiap-siap.

Sepanjang jalan kami bertakbir, ku lihat Momon sangat riang begitupun Abah, namun entah mengapa setiap kali aku melafalkan takbir dada ku di penuhi dengan sesak bayangan tetang hidup ku dulu.

Seusai solat ied, aku mendengarkan satu persatu daftar orang-orang yang berqurban tahun itu, terhembus dalam kalbu semoga kelak akupun mampu untuk berqurban, pengumuman terakhir seluruh jamaah di perintahkan pulang dan nanti setelah solat zuhur akan di bagikan daging kurbannya,  jamaah di wajibkan membawa kupon yang di berikan oleh pak RT untuk di tukar dengan daging. Aku mengerutkan kening ku saat mendengar itu.

"Abah,  apa kita dapat kupon dari pak RT? " tanya ku saat perjalanan pulang ke rumah, abah hanya menggelengkan kepala, Momon tampak cemas terlihat dari bibir nya yang sudah ia lipat rapi. 
"tenang,  abang mau kejar pak RT dulu, tadi abang lihat pak RT ada di depan" ucap ku dan langsung lari mengejar pak RT, mungkin Rumah kami terlewat olehnya,  untung saja pak RT belum terlalu jauh.
"Asalamualaikum, pak RT? " ucap ku dengan nafas yang masih tersengal-sengal
"Wa'alaikumsalam, ada apa? Sampe lari-lari begitu? "
"pak, katanya ambil daging kurbannya pakai kupon, kenapa saya belum dapet? " tanya ku
"walah,  masa sie belum dapet,  waduuhh gimana ini,  kuponnya sudah habis" jawabnya,  gemas sekali aku pada mimik wajah pak RT ini,  tidak ada raut wajah menyesalnya,  namun aku tak berkata apa-apa, aku menunggu solusi dari mulutnya.
"nanti ya saya bicarakan sama panitia, pokoknya kurban tahun depan kamu ga bakal kelewat, sudah dulu ya, saya buru-buru" jawabnya dan ia langsung memanggil Haji idris tetangga nya yang membawa motor dan pergi tak meninggalkan solusi.  Tak lama sampailah Momon dan Abah di belakang ku,  ia bertanya pada ku, tentang kupon kurban.  Aku tersenyum dengan mengipas-ngipaskan kertas putih yang ku tulis dengan ballpoint bertuliskan KUPON.
"Horee,,,  Horeeeee" teriak Momon loncat-loncat,  Abah Mizan pun tak mau kalah dengan Momon ia bergoyang-goyang merasa senang.
Apalah mau di kata, aku tak sampai hati berkata bahwa kupon daging qurban telah habis,  ku tulis saja kertas catatan ku dengan tulisan KUPON,  baik Abah maupun Momon tak ada satupun dari mereka yang bisa membaca,  sekalipun kertas brosur atau kertas bekas gorengan yang ku berikan pada mereka jika aku sudah berkata itu KUPON maka jadilah itu KUPON di mata mereka,  kebahagian dan semangat mereka yang merekah tak mungkin mampu ku padamkan, tidak setiap hari mereka bisa sesemangat hari ini. 

Hari semakin siang, Momon dan Abah memukul-mukul bambu di belakang rumah,  mereka masih dalam suka cita takbiran, kepala ku pening mencari cara agar nanti sore sudah ada daging di tanganku, andai aku punya uang,  tak usah banyak-banyak, secukupnya saja untuk membeli daging satu kilo maka aku tak akan berputar-putar seperti ini.

11.50 siang, jumat 01 September 2017

"husein,  bangun sudah mau dzuhur,  solatlah ke masjid,  sekalian kau ambil daging, Abah dan Momon mau ke musola saja yang lebih dekat" ucap Abah,  aku terperenjat dari tidur ku, segera ku berdiri, langkah demi langkah tetap ku susuri, dan saat ku hendak melewati rumah tetangga ku, terlihat bocah kecil nan lucu bernama Nela sedang bermain dengan kelincinya, keluarga Nela sangat baik dan bijaksana nampak nya mereka takan marah jika aku mengambil kelincinya.

Sesampainya aku di masjid sudah banyak orang yang mengantri, aku langsung berlari mendekati panitia.
"pak, permisi pak,  saya kemarin sore tidak kebagian kupon sama pak RT" teriak ku, seorang Bapa-bapa meminta ku mundur
"tolong kerja samanya ya mas, ini yang dapat daging yang punya kupon dulu, jangan sampai yang punya kupon sudah datang jauh-jauh tidak dapat daging"
Iyah tentu aku mengerti aturan itu, sangat mengerti, tak ada gunanya aku berdesakan di bawah terik matahari siang ini,  sebaiknya aku  segera berlari ke masjid untuk segera solat dzuhur. 

Selesai solat aku mengambil tasbih ku di dalam kantong, berdzikir pelan seraya menyaksikan antrian yang mengular itu lama-kelamaan mengurai. Sudah mendekati waktu asar, kering sudah kerongkongan ku, tapi tak ada yang bisa ku andalkan selain do'a, tak lama suara sorak terdengar bergemuruh ku lihat antrian menjadi berantakan, aku mendekat untuk melihat apa yang terjadi, ternyata daging yang di bagikan kurang,  masih ada sekitar 15 orang yang tidak mendapat bagian. Sepertinya aku harus pulang, dan menculik kelinci tetangga ku yang baik hati. 

Part 1
(bersambung)

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Sep 16, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Daging untuk Abah Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang