Bab 13

2.8K 285 52
                                    

"Rasanya sakit, Dav. Tapi kenapa gue bahagia? Ternyata gak buruk juga, Dav."

※※※※※

Sudah lebih dari sepuluh menit Afreen duduk di tepi ranjangnya sembari memandang hamparan luas langit malam dari jendelanya. Kedua matanya menatap lamat-lamat ke arah langit kelam yang kini dipenuhi oleh jutaan titik cahaya berpendar. Kedua ujung bibirnya tertarik menampilkan sebuah senyuman yang sudah beberapa tahun ini hilang dari wajahnya.

Bohong bila ia tidak bahagia hari ini. Bohong bila ia tidak merasa lebih hidup setelah ia merasakan hari ini. Bohong bila ia tidak menyukai si pembawa kebahagiaan itu—eh tunggu. Untuk yang satu ini ia tak mau megakuinya, bahkan di dalam pikirannya sekalipun. Tidak akan.

Setidaknya itulah yang otaknya perintahkan. Tapi takdir terkadang memang kejam. Menempatkannya pada posisi sebagai bagian dari kaum hawa yang sudah secara kodratnya bertindak dan berpikir menggunakan perasaan tang lebih mendominasi dibandingkan logika. Maka seperti yang terjadi saat ini. Sekuat apapun ia mencoba untuk melupakan dia dan kejadian hari ini, hatinya selalu menolak untuk melakukan hal itu.

Iya jadi teringat akan percakapannya saat Davka seperti akan mengatakan sesuatu, namun dengan lihainya ia menyembunyikan hal itu.

"Bunda setiap pagi sampe siang ke butiknya terus siang sampe sorenya ke sini. Bunda emang sengaja bikin panti ini sejak gue—" Davka tiba-tiba seakan tersadar bahwa ia akan mengatakan sesuatu hal yang 'terlarang' segera menoleh ke arah Afreen yang masih serius memandanginya. "Eh, gimana? Ada yang bagus, gak? Kalo enggak, kita foto lagi."

Merasa ganjil dengan pertanyaan dari Davka, Afreen menatapnya bingung. Ia mengharapkan penjelasan lebih dari Davka.

"Lo ngapain liatin gue gitu?"

"Lo mau ngomong apa tadi?" Tepat! Benar-benar seorang Afreen yang Davka kenal. To the point.

"Gue cuma nanya lo ada yg disuka ga fotonya?"

Afreen mendengus kesal. Biar bagaimanapun ia tidak berhak untuk memaksanya lebih lanjut, ia hanyalah orang luar. Ya sudah seharusnya ia hanya diam dang berpura-pura tidak tahu.

"Af!" ujar Davka sembari menunjuk ke arah sekumpulan anak-anak yang tengah bermain dengan salah satu pengurus panti snag bunda.

"Hmm."

"Lo tau gak, hal yang paling gue suka dari panti ini?" tanya Davka yang hanya dibalas dengan gelengan kepala dari Afreen.

"Panti ini entahlah. Terasa beda aja."

"Bedanya?"

"Lo liat anak-anak itu? Selain mereka ditelantarkan oleh orang tua gak bertanggungjawab mereka, mereka juga penyandang disabilitas. Sangat sulit bagi mereka untuk mendapatkan keluarga yang mau mengadopsi mereka karena kekurangan mereka sehingga mereka benar-benar ditelantarkan gitu aja. Dan Bunda gak suka hal itu," ujar Davka.

Kemudian ia melirik ke arah Afreen yang sejak tadi mengamatinya dari samping. "Lo tau kenapa, Af?"

Sebenarnya, bukanlah seorang Afreen bila ia mau duduk dan mendengarkan cerita dari orang lain seintens ini. Terlebih lagi bila cerita itu berasal dari bibir seseorang yang ia benci. Namun entah mengapa segala hal baru tentang Davka yang baru-baru ini ia ketahui, selalu mampu membuatnya tertarik.

Rasanya seperti apapun yang kalian lihat dan ketahui tentang cowok berambut sedikit panjang hingga menutupi setengah daun telinganya ini, ternyata bukanlah sosok Davka yang sesungguhnya. Davka seperti sebuah buku ensiklopedia yang berisi banyak sekali topik di dalamnya.

Seharusnya ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang