Rumahku Nerakaku

613 4 5
                                    

Rumahku Nerakaku

#CerpenJZ

Pesakitan ini sangat menyiksa. Terpenjara di rumah sendiri. Keharmonisan mahligai rumah tangga yang terbina, harus beberapa kali menelan kegetiran. Sebagai seorang istri yang bekerja di sebuah dinas pertanian, tentu aku harus menjaga dan memelihara kekerabatan dengan orang-orang tempatku bekerja, bergaul dengan masyarakat, serta melayani mereka yang membutuhkan bimbingan. Memang di antara mereka ada yang bertingkah nakal, tapi sekuat mungkin aku selalu menjaga agar biduk rumah tanggaku tidak ternoda.

.

Sikap Uda Buyung yang pencemburu merubah segalanya. Tak segan ia main tangan, hingga aku mengalami luka yang serius. Kejadiannya bermula saat aku pulang malam setelah menunaikan tugas. Uda Buyung mengajakku berhubungan badan. Dengan halus aku menolak permintaanya. Jujur saja, aku sangat capek setelah bekerja seharian.

.

"Aku curiga padamu, Intan! Jangan-jangan kau berbuat serong dengan pria lain" tuduhnya.

Tentu saja aku terkejut atas apa yang ia lontarkan. Kubalikkan badan, dan memandang wajahnya.

"Uda??? Mengapa berkata seperti itu?"

"Intan! Aku ini suamimu, Aku tidak suka kau bergaul terlalu dekat dengan laki-laki."

"Uda! Itu sudah kewajibanku melayani siapa saja, aku harap Uda bisa mengerti."

.

Cinta Uda Buyung tak pernah kuragukan, justru aku senang ia mencintaiku seutuhnya, tanpa pernah membaginya pada wanita lain. Hanya saja aku merasa terganggu dengan tingkahnya yang pencemburu buta. Malam itu Uda Buyung meninggalkanku sendirian, ia pergi keluar rumah. Isak tangis semakin menjadi saat beberapa kali aku mencoba menghubunginya lewat telpon genggam, malah suara operator yang terdengar.

.

"Mengapa ibu menangis?" tanya Indah, anak semata wayangku. Tanpa berkata aku memeluknya erat. Menumpahkan segala beban pikiran kepada buah hatiku tersayang.

Hari ini aku tidak pergi bekerja, aku ingin menunggu Uda Buyung yang belum pulang dari semalam.

"Ibu, Ayah kemana?" Indah tiba-tiba hadir sampingku.

Aku terdiam, tidak tahu harus menjawab apa.

Seminggu kemudian Uda Buyung pulang tanpa sekatah katapun keluar dari mulutnya. Apalagi di teras rumah mungilku ia melihat aku sedang bercakap-cakap dengan Edi, tetanggaku. Jelas sekali sorot matanya memandang penuh kebencian. Padahal kedatangan Edi hanya inggin bertukar pikiran tentang ilmu pertanian. Secara, ia baru saja menamatkan sekolahnya di SMK. Hal yang tak pantas sebenarnya Uda Buyung permasalahkan.

Uda Buyung melihat sekilas, ia berlalu, membanting pintu dengan sangat keras.

"Aku ... pulang dulu, Kak," Edi pergi dengan wajah takut.

Aku mengangguk pelan.

****

Aku pandangi langit-langit kamar. Baru aku sadar, kedua tanganku terikat ke belakang. Entah kapan ia melakukannya. Sungguh aku tak percaya kalau Uda Buyung akan bertindak seperti ini. Aku tak ubahnya seperti seorang tawanan. Menunggu pertolongan dari seseorang yang bersedia membebaskanku.

.

Uda Buyung mungkin sedang berjihad. Mempertahankan apa yang menjadi haknya.

"Kamu makan dulu, Intan," ujarnya sambil menyodorkan nasi di atas sendok.

"Aku tidak lapar," kataku. Tak tahan, air mata membanjiri kedua pipiku.

"Nanti kamu sakit," sambungnya.

"Apa kamu lihat aku tidak sakit?"

"Intan! aku melakukan ini demi menjaga agar keutuhan keluarga kita tetap terjaga."

Aku memejamkan mata, mencoba kuat. Menelan semua kegetiran. Meraba dan merasa, tulang sendiku sudah mulai remuk. Uda Buyung masih romantis! Namun, apakah dengan cara begini ia melindungiku?

.

Aku teringat kembali masa-masa dulu. Saat semuanya menjadi indah tanpa cela. Kenangan bersama Uda Buyung sebelum ia jadi suamiku. Janji-janji manis tercurah tanpa beban. Ketika terjatuh, Uda Buyung merawat dan menjagaku siang dan malam. Masih jelas dalam ingatanku, bagaimana alotnya mempertahankan kesetiaan dalam rentang waktu yang sangat panjang. Sehingga perjuangan cinta suci itu berlanjut ke pelaminan.

"Indah dimana, Uda?" ujarku parau.

"Di rumah Ibu," jawabnya.

Kembali ia berusaha menyuapkan nasi yang masih hangat itu. Aku menghindar, memandang ke sudut ruangan.

"Lepaskan aku, Uda!"

"Tidak!!!" matanya membelalak. Sifat baiknya selama ini mendadak hilang.

"Oh, Tuhan! Kepercayaan itu telah hancur. Kemana tegarmu yang dulu? yang selalu bijak dalam menyikapi segala hal. Sekalipun kamu hantu! Aku tak mungkin menghianatimu! Apalah itu kuli bangunan. Toh, itu halal! Hidup memang butuh materi. Tapi aku bukan seorang yang mata duitan. Tak pernah meminta lebih darimu, Uda! Apakah itu belum cukup?" kataku panjang lebar.

Uda Buyung tak menanggapi, ia pergi meninggalkanku dalam keadaan masih terikat di kursi yang terbuat dari kayu itu.

.

Aku bisa saja berteriak meminta pertolongan. Tapi tak kulakukan. Biar saja begini. Jika memang jalannya aku harus tertindas oleh orang yang sangat kucintai. Lagipula, deritaku ini bukan cerita drama seri, yang setiap episodenya ditonton khalayak ramai. Ini adalah aib, aib keluargaku tercinta. Menjaga dan melindungiku dengan cara yang salah. Ia takut aku akan berpaling, padahal seluruh jiwa dan raga ini hanya untuk Uda Buyung.

.

Di sela-sela tangis dan isak, aku bermohon. 'Sadarkanlah ia wahai Tuhan, jika itu fitnah, berikanlah ilham. Mungkin, dikehidupan selanjutnya ia bisa lebih baik. aku ingin menyudahi semua ini dengan tersenyum. Setidaknya aku pernah berjuang, mempertahankan mahligai rumah tangga dari hasut dan fitnah yang merajalela.'

***

Tujuh hari berlalu ...

Banyak orang-orang di sekelilingku, dari yang tua sampai anak-anak. Badanku lemah tak bertenaga. Samar-samar, banyak di antara mereka yang meneteskan air mata. Seakan aku sudah jadi mayat. Apakah Malaikat Maut sudah datang menjemput? Jika benar demikian, aku ikhlas. Biarlah aku membawa kesucian cinta ini pada kematian. Agar hilang semua rasa, terkubur bersama nyanyian suara hati.

.

Kesalahanku, mungkin karena aku tak banyak bicara, terutama pada suamiku. Menjelaskan hal yang tak perlu, hanya buang-buang waktu, itulah pikiranku saat itu. Namun rupanya, semua itu tak cukup menjelaskan. Otak Uda Buyung sudah dirasuki setan, sehingga retaklah kepercayaan itu dengan sendirinya.

.

"Maafkan aku, Intan," Uda Byung terisak. Matanya bengkak. Aku yakin ia tidak tidur semalaman. Aku mencoba tersenyum, walau berat.

"Ibuuuu!!!!" Indah memelukku.

Ingin ... ingin aku mengusap rambutnya, tapi tanganku tak bisa digerakkan.

"Ya ... Tuhan! Izinkanlah sekali ini saja membelainya," ucapku dalam hati.

Tapi apa daya, aku tak sanggup. Seluruh badanku tak bisa digerakkan. Hanya air mata ini yang bicara. Mengalir tak terbendung. Lalu semuanya menjadi gelap. Takdirku hanya sampai di sini, malaikat maut telah sukses melaksanakan tugasnya.

.

Perlahan-lahan, rohku terpisah dari raganya. Terbang meninggalkan jasad yang terbujur kaku.

Takdir kadang mempermainkan orang, begitulah yang pernah aku baca dalam sebuah buku. Sekuat apapun berusaha, jika tak pandai mencari atau membelanjakan, semuanya hanya tinggal tulisan, serta angan di atas kertas belaka. Kaya atau miskin sama saja, toh! akan dimakan cacing juga. Yang membedakan cuma amal perbuatan selama hidup di dunia fana ini.

.

Selama hidup, aku tak pernah bercita-cita menjadi kaya raya. Apalagi mempunyai harta yang berlimpah, mentereng dengan kebutuhan luksnya.

Tamat

Rumahku NerakakuWhere stories live. Discover now