"Uhhh...panas dahimu, Dek," Yusuf memegang dahi istrinya yang basah oleh keringat.
"Besok kita ke dokter ya, Sayang" bisiknya lirih. Sang istri tersenyum memandangi wajah Yusuf.
"Ini Bang, sisa uang kita hingga Senin besok," sahut Amira lirih sambil mengangsurkan selembar limapuluh ribuan dan beberapa lembar dua ribuan lusuh ke tangan Yusuf.
"Ke Puskesmas pun mungkin tak cukup Bang, mengingat Abang harus pesan dua becak, satu untuk Abang, satu untuk perutku yang gembul melembung ini," tawa Amira tertahan, sambil mengusap perutnya yang membukit.
Alih-alih merasa sedih dan hanyut dalam keadaan, Yusuf pun ikut tertawa bersama Amira.
"Alhamdulillah Sabtu dan Minggu libur, Dek. Hingga tak perlu keluar uang untuk ongkos jalan kita. Senin Insha Allah Abang sudah gajian lagi," Senyum Yusuf masih terkembang, melihat lesung pipit istrinya timbul tenggelam di pipi ranumnya yang kemerahan.
Dalam tujuh bulan usia kandungannya, Amira demam tinggi. Itu pun hanya diobati seadanya oleh Yusuf. Baluran bawang merah yang diparut dan minyak kayu putih di sekujur tubuhnya, serta ditemani beberapa teguk teh manis hangat yang mengaliri tenggorokannya, Amira mulai tertidur lelap. Ia luruh dalam dekapan suaminya, di kasur busa yang mulai menipis, yang tergeletak diam di sudut kamar mereka yang berdinding bilik.
Tengah malam itu Amira terbangun. Ketika ia perlahan melangkahkan kakinya di lantai, lantai semen itu terasa masih lembab bekas sapuan pel Yusuf. Harum wangi deterjen menguar dari ember di sudut kamar mandi. Yusuf rupanya telah merendam pakaian kotor mereka.
Amira masih berjalan berjingkat-jingkat, ketika dari ruang tamu mungil mereka, ia mendengar Yusuf melantunkan alunan ayat suci yang begitu syahdu. Isakan tertahan kadang terdengar lirih dari bacaannya yang tersendat. Tak lama berselang, bacaan itu terhenti, digantikan oleh gema takbiratul ikhram lirih dari suaminya.
Mata Amira basah. Dari sudut matanya yang menghangat, mengalir butiran air mata. Di hatinya meluap rasa syukur atas indahnya nikmat yang ia rasakan saat berada di sisi Yusuf.
Kadang bila matanya terpejam, sering ingatan buruk itu tiba-tiba hadir. Pada sesosok yang ingin ia buang jauh dari memorinya. Pada seonggok kenangan pahit yang tak henti menghantui.
***
"Plaaaakkk..." tiba-tiba ada jari-jari kekar menampar pipinya. Jemari kekarnya yang lain mencoba menarik hijabnya yang terulur panjang melewati bahunya. Kembali kenangan pahit dua tahun silam tergambar jelas di pelupuk matanya.
"Perempuan keparaaat...Sundal kamu," Bram tak henti memakinya. Tangan-tangan kekar itupun menariknya paksa ke kamar mereka dalam apartemen mewah mereka.Beberapa hari Bram mengurungnya dalam apartemen mereka. Hanya saat makan pagi, siang dan malam saja Bram membuka kunci kamarnya untuk mengantar makanan dan segelas susu hangat untuknya. Bagai telah membaca pikirannya, Bram telah mengunci rapat seluruh jendela kaca, dan menyembunyikan benda-benda tajam ataupun tumpul yang mungkin bisa membantu Amira kabur dari apartemen mereka.
"Tak akan pernah, takkan bisa kau pergi dariku, Amira," Maki Bram parau di telinganya, diantara bau alkohol yang menguar panas dari mulutnya.
Bram dulu adalah cinta pertamanya. Pujaan hati dan segenap jiwa raganya. Bram adalah incaran hampir tiap gadis di kampusnya. Ketua Senat yang berprestasi, sekaligus atlet hockey peraih medali perunggu di tingkat SEA GAMES, ditambah dengan sosok tinggi, dada bidang dan rahang yang terlihat tegas, menjadikan Bram idola kampus.
Alih-alih Bram menerima cinta gadis-gadis itu, cinta Bram hanya untuk Amira seorang. Hingga akhirnya Amira bersedia menikahi Bram.
Namun cinta mereka tak bertahan lama. Sikap manis Bram berubah, sejak ia mulai kecanduan alkohol. Kata-kata dan perlakuan kasar mulai sering Bram lontarkan bila ia mulai terlalu banyak mengecap alkohol itu dalam kerongkongannya.
Perlahan Bram pun mulai terseret dalam lingkaran setan perjudian. Derita Amira pun makin tak tertahankan, saat Bram sering kalah dalam perjudian itu, ia mulai menjanjikan Amira boleh dijamah oleh siapapun yang menang dalam perjudian melawannya.
Mulailah Amira berjuang melawan nasibnya. Meronta-ronta menggapai nasib baik yang sempat hendak pergi dari hidupnya.
Sejuta cara Amira lakukan untuk bisa lepas dari cinta pertamanya. Ribuan lantunan doa antara isak tangis dalam sujud panjangnya, akhirnya membuka jalan untuk lepas dari cinta yang dulu pernah ia agungkan.
Kini dirinya terdampar di sini. Di pondok mungil milik Yusuf suaminya.Yusuf adalah jawaban dari lirih doanya. Saat ia hampir tak percaya bahwa cinta sejati itu ada. Bahwa pria yang mampu membawanya menuju surga itu ada.
"Dek...Hei mengapa kau bangun?"
Guncangan lembut di bahunya membuyarkan lamunannya. Sambil melipat sarung kotak-kotak yang melekat di tubuhnya, Yusuf menanggalkan kopiah di atas lemari kayu yang berderit pelan ketika tersenggol.
"Mimpi ya, Dek?"
Sesaat jemari Yusuf kembali meraba dahi Amira dan perlahan mulai menuntun Amira kembali berbaring di kasur berbusa tipis itu. Amira mengerjapkan matanya sesaat. Dulu ia pernah membenamkan diri di apartemen mewah yang menyajikan begitu banyak bangga dan puja-puji duniawi.
Kini tempatnya berpijak adalah lantai semen berdinding bilik. Pendampingnya adalah seorang pria sederhana, yang mencintainya dengan sederhana. Yang tak ragu membantunya merendam cucian kotor dan mengepel lantai demi meringankan pekerjaan rumah tangganya.
Kini tempatnya berlabuh adalah pria sederhana, yang di sepertiga malamnya melantunkan ayat-ayat yang begitu menenangkan jiwanya. Pria sederhana itu, yang tiap pagi ia buatkan segelas teh manis hangat sebelum ia kecup hangat jemarinya dengan takzim, sebelum sepedanya dikayuh pria itu menghilang di ujung gang itu..
Bekasi, diantara gerimis, 19 Maret 2016
YOU ARE READING
CINTA DALAM SEGELAS TEH MANIS HANGAT
RomancePerjuangan keluarga kecil di tengah kesulitan hidup. Bertahan dalam biduk rumah tangga, atau memilih berpisah menjalani takdir masing-masing