Drrrttt!
Drrrttt!!
Benda pipih yang tertindih bantal yang sedang ditiduri oleh seorang cewek diatas kasur itu terus bergetar menandakan adanya panggilan masuk. Tak henti-hentinya berdering nyaring sampai membuat sang empu mulai membuka matanya karena merasa terganggu.
"Ck, berisik." Gumamnya.
Tangannya meraba untuk mencari dimana letak benda tersebut sambil menggeliatkan badan untuk menyamankan posisi tidurnya, lalu perhatiannya mulai lah terfokus pada panggilan masuk yang tertera dengan nama 'Ayah'.
Cewek itu menghela napas panjang. Mendadak pusing dan refleks memijit dahinya pelan. Bukan karena penyakit atau apa, bukan. Melainkan suatu hal bahwa setelah ini akan ada pertikaian yang tidak berpihak padanya. Mencoba untuk menghela napas kembali lalu ia mengangkat panggilan itu dengan menggeserkan jarinya kearah tombol hijau.
"Apa," ucapnya tanpa basa-basi dan lanjut memejamkan mata.
"Kenapa kamu gak sekolah?"
"Males."
Terdengar helaan napas kasar disana.
"Mau sampai kapan kamu seperti ini, hah!"Cewek itu mendengus dan lantas membuka matanya kembali. "Nunggu sampai Ayah cerai lagi kayaknya."
"Jangan buat Ayah marah, Sani! Sekarang kamu pulang!"
"Gak mau."
"Pulang sekarang juga atau apartemen nya Ayah jual!"
"Gak bisa git-"
Tutt
Sambungan terputus secara sepihak tanpa ia sempat mengucapkan kata untuk menjawab.
Sani berteriak kesal dengan meremas handphone yang ada di genggaman nya. Mencoba memejamkan matanya kembali dan berusaha untuk meredamkan emosinya. Selepas dari itu, ia kembali terhanyut dalam tidurnya. Membiarkan alam bawah sadar itu berganti untuk menstabilkan pikirannya yang berkecamuk. Agar saat Sani bangun nanti, dirinya bisa lebih menyiapkan mental untuk kembali ke tempat yang ia sebut neraka.
⚡⚡⚡
Sani memarkirkan mobil putihnya di halaman luas rumah megah nan mewah itu. Saat memasuki rumah, ia langsung di sambut hangat oleh seorang wanita dewasa dengan senyum yang merekah di wajah cantiknya. Saat wanita itu hendak memeluk Sani, Sani dengan tidak beretika lantas mendorong tubuhnya. Tidak kuat namun cukup membuat wanita itu hampir jatuh sebelum tangan Andi-Ayahnya yang menahan tubuh Reva.
Andi marah. Menatap tajam pada Sani. "Kamu apa-apaan, hah!"
Sani tak peduli. Ia justru melenggang pergi dari sana lalu berjalan kearah tangga untuk menuju ke kamarnya.
"Sani! Sini kamu! Ayah belum selesai bicara!" Teriak Andi.
Merasa tidak di pedulikan, Andi lantas mengejar Sani dan mencengkram lengan Sani menariknya kasar menuju ruang tengah.
"Mas! Udah mas, kasihan Sani."
Reva yang panik pun berupaya mengejar mereka dari belakang.
Sani menghentikan langkahnya lalu menghempaskan lengannya dari cengkraman Andi. Berusaha dengan sekuat tenaga untuk menahan emosinya. Namun sialnya, air mata yang entah kapan sudah menggenang di pelupuk mata pun jatuh membasahi pipinya. Sani tak kuat dibentak seperti itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
SANSEN
Teen FictionSebut dia Sani. Hanya Sani. Walaupun berbekal nama terpandang dan kekayaan yang mengikutinya. Hal itu tidak membuat dirinya menjadi kepribadian yang baik. Dia itu gadis sombong, keras kepala, dan tak peduli terhadap apapun selain dirinya sendiri. Ma...