2. Hancur

255 25 7
                                    

Hal yang sangat menyebalkan adalah saat baru masuk sekolah sudah dikasih tugas yang banyaknya minta ampun, apalagi kalau tugasnya itu Matematika. Aku sangat tidak suka dengan pelajaran Matematika, tidak tahu kenapa rasanya sangat sulit untuk mengerti pelajaran yang identik dengan angka itu.

Bu Titih--selaku guru Matematika ku mulai memberikan tugas tersebut. Untungnya tugas itu tidak dikerjakan individu tetapi, dikerjakan perkelompok, aku sangat bersyukur karena tugas itu tidak dikerjakan individu seenggaknya ada yang membantuku mengerjakan tugas Matematika yang memusingkan otak itu.

Bu Titih membentuk kelompok tugas itu, kelompok ditentukan oleh Bu Titih agar kebagian sama rata dan adil. Namaku belum juga disebutkan, aku takut jika aku tidak mendapatkan kelompok dan harus mengerjakan tugas itu sendiri. Tak berapa lama Bu Titih menyebutkan kelompok terakhir, aku sedikit was-was karena aku belum dipanggil sedangkan Zahra--teman sebangku ku sudah mendapatkan kelompok.

"Yang terakhir kelompok 7; Faradilla, Reza, Adam, dan Moza." ucap Bu Titih hingga aku dapat bernafas lega, tetapi tunggu dulu, apa tadi aku tidak salah dengar? Bu Titih menyebutkan nama Adam, berarti itu tandanya aku sekelompok dengan Adam. Oh my god, aku sangat senang bisa sekelompok dengannya. Semoga dengan kelompok ini aku bisa lebih dekat lagi dengan Adam.

"Baiklah, kalian sudah mendapatkan kelompok masing-masing jadi, Ibu minta kerjakan tugas yang Ibu berikan dan kumpulkan minggu depan! Minggu depan tugas kalian harus sudah selesai, tidak ada perpanjangan waktu. Mengerti?" tanya Bu Titih pada seluruh murid.

"Mengerti, Bu." seru semua murid serempak.

Setelah Bu Titih keluar dari kelasku, anak-anak kelasanku langsung berpencar ke kelompoknya masing-masing merencanakan dimana mereka akan mengerjakan tugas kelompok itu—sama halnya dengan yang lain aku dan Dilla juga merencanakan kerja kelompok itu, tanpa aku sangka Adam dan Reza menghampiri tempat dudukku.

"Hei, mau kerja kelompok dimana?" tanya Adam menatapku dan Dilla secara bergantian.

Adam memutar kursi yang berada didepan ku agar menghadap kebelakang, ia menduduki kursi itu, otomatis aku dan dia saling berhadapan dan itu membuat jantungku tidak sehat. 'Oh Tuhan, tolonglah aku agar bisa bernafas didepannya.' -batinku berteriak dalam hati.

"Di sekolahan aja, nanti pake laptop gue." jawab Dilla. Dilla memang tinggal di sekolah karena Ibunya berjualan di kantin sekolah sedangkan Ayahnya menjadi satpam di sekolah.

"Iya gue setuju, adem juga di sekolahan dari pada nyari tempat lain." sahut Reza menyetujui ucapan Dilla.

"Yaudah, gue juga setuju." seru Adam.

Semua mata teralihkan menatapku, aku mengernyit sekaligus gugup karena Adam juga melihat kearahku.

"Lo setuju gak, Za?" Dilla menyikutku.

Aku menoleh kearahnya dan mengangguk. "Iya gue ngikut aja." jawabku sedikit canggung, bukan canggung karena Dilla tetapi, canggung karena jarak posisiku dengan Adam terlalu dekat—membuatku sulit bernafas.

"Berarti ini udah deal ya ngerjain di sekolah?" semuanya mengangguk. "Terus mau ngerjain kapan?" tanya Adam lagi.

"Sabtu aja gimana? Kan libur." usulku, akhirnya memberanikan diri berbicara.

"Boleh," balas Adam. "Lagian waktunya juga banyak kalo sabtu, kalo hari sekolah waktunyakan sedikit pasti ngerjain tugasnya kepotong-potong, mendingan sekaligus selesai, gimana?"

"Oke, gue setuju." sahut Dilla.

"Gue juga setuju kok." balas Reza juga.

"Jadi hari sabtu ngumpul di sekolah jam 10, oke?"

Love in SilentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang