Bun Kong Lie mendorong laki-laki itu dengan kasar sampai terjerembab. Kulihat sudut bibir lelaki tua itu #berdarah. Koh Kong Lie, begitu aku menyebut lelaki lima puluh tahunan itu, berkacak pinggang dengan angkuh.
"Owe tahu dia primadona di sini. Tapi owe ndak suka kowe pegang-pegang susunya!" katanya ketus sambil menunjuk-nunjuk batang hidung Tuan Shan Tek Siong.
Aku hanya mematung, curi-curi pandang ke arah Koh Kong Lie. Dia marah sekali. Kulihat giginya sampai bergemeretak.
Dengan suara yang makin meninggi Koh Kong Lie kembali mengancam Koh Tek Siong, orang yang sudah tak berdaya itu. "Minggat kowe, ndak usah nonton lagi! Giyanti cuma boleh nyanyi dan diajak nari. Dia ndak melacur di sini!" sungutnya sambil menjejakkan kaki tuanya tepat ke ulu hati Koh Tek Siong.
Lelaki itu mengerang kesakitan, aku memburunya. Tak tega melihatnya sekarat begitu. Tapi Koh Kong Lie menarik tanganku dengan kasar.
"#Anak ndak tahu diri! Owe bilang jangan dekat-dekat manusia ini lagi!" katanya kasar. "Apa kowe cinta sama dia?" lanjutnya sambil membawa tubuhku dalam pelukannya.
Wajah kami hampir bertemu, dekat sekali. Kurasakan napasnya memburu. Tak hanya cemburu, tapi bercampur gairah yang menderu seperti malam-malam sebelumnya seusai pertunjukan.
"Jawab Nik!" tangannya kuat mencengkeram punggungku. Nonik adalah panggilan #sayang dia untukku. Orang-orang di sekitarnya pun lebih sering memanggilku Nonik ketimbang Giyanti, nama asliku.
"Ndak Koh, aku cuma kasihan," jawabku terisak.
"Bohong! Kamu cinta dia, Nik!" geramnya sekali lagi sambil menjejak tubuh Koh Tek Siong. Lelaki yang seumuran dengan Koh Kong Lie kembali mengerang.
Aku serta-merta melepaskan pelukannya, berlutut memeluk lutut Koh Kong Lie sambil tergugu.
"Sudah Koh, sudah!" pintaku. "Biarkan Koh Tek Siong pergi. Jangan sampai dia #celaka lalu mati sini," lanjutku memohon dengan sangat.
"Jangan kowe sebut namanya di sini!" lelaki tua ini makin meradang.
"Manto! Darno! Bawa dia pergi. Owe ndak sudi melihatnya lagi!" Aku merasa sangat lega. Syukurlah, Koh Kong Lie tak memperpanjang masalahnnya.
*****
Hidupku sangat tergantung Tuan Bun Kong Lie. Lelaki seumur bapakku ini adalah kepala orkes keroncong paling terkenal sejak tahun kedua kemerdekaan negeri ini. Aku menjadi penyanyi primadona di orkes ini karena kebaikannya. Ibuku yang tukang pijat keliling sering diminta memijat Nyonya Wu Ay Liu, istri Koh Kong Lie. Saat itu aku masih berusia tujuh tahunan dan sering ikut ibu memijat.
Aku sering melihat orang-orang berlatih keroncong di rumah Koh Kong Lie. Dari hanya ikut-ikutan menyanyi, aku mulai hafal beberapa lagu di pertunjukkannya. Rupanya kebiasaanku diperhatikan Koh Kong Lie hingga suatu hari ia mengajakku turut berlatih.
Saat itu usiaku menginjak sepuluh, tepat tahun 1954. Selama setahun aku berlatih dengan sungguh-sungguh supaya kemampuanku sama dengan penyanyi sebelumnya. Selama itu pula aku disekolahkan supaya tak cuma pandai bernyanyi, tapi juga tak buta baca tulis. Persis di usia kedua belas, aku boleh mulai manggung.
Tak butuh waktu lama aku pun menjadi primadona. Hal ini tentu membuat Koh Kong Lie menjadi juragan kaya raya karena orkes keroncongnya yang termasyhur. Sebagai primadona, aku pun menjadi anak kesayangannya. Bukan itu saja, aku dikawininya waktu umurku lima belas, jadi madu Nyonya Wu Ay Liu.
Begitulah, tak ada seorang pun boleh menyentuhku. Kemarahan Koh Kong Lie sangat beralasan. Tak ada yang bisa pulang dalam keadaan #hidup kalau sampai berani menggerayangiku. Koh Tek Siong masih beruntung karena rengekanku saat berlutut tadi membuat suamiku mau melepaskannya.
*****
"Kowe ingat ya Nik. Kowe adalah milik owe satu-satunya #siang dan malam. Kalau ada yang kurang ajar begitu, kowe tendang aja." Koh Kong Lie membimbingku kembali berdiri.
Dirangkulnya pundakku. Tinggiku yang sudah melebihinya membuat ia leluasa meremas susuku. Aku tahu apa yang diinginkannya. Menghabiskan sisa amarah di atas tubuhku tentu bisa membuat usianya makin panjang.
"Tapi Koh Lie jangan marah-marah begitu, ingat jantungnya Koh." rajukku manja.
Koh Kong Lie manggut-manggut mengiyakan pendapatku sambil menciumi leher jenjangku, mengajak ke dalam kamar. Aku mendorongnya pelan, tak nyaman rasanya diperlakukan begitu.
Bukannya melepaskanku, Koh Kong Lie malah makin merapatkan pelukannya. Tangannya keras mencengkeram punggungku, gerakannya makin liar mencari kenikmatan dari tiap lapis kulitku.
Dari balik punggung Koh Kong Lie kulihat Darno, tangan kanan lelaki yang sedang menuju puncak kenikmatan, memberi kode padaku dari lorong dapur. Aku tahu artinya. Aku harus segera menuntaskan kepuasan Koh Kong Lie lalu membuatnya tertidur pulas. Setelah itu dengan dibantu Darno menyelinap keluar rumah menuju lumbung padi di pinggir desa. Kang Mardikun sudah menunggu di sana. Dia satu-satunya lelaki yang aku #sayang sepenuh hati.
Kutarik cepat suamiku ke kamar. Tak perlu lama untuk membuatku telanjang dan duduk di atas tubuh tambunnya. Kali ini kendali ada di tanganku. Segera kutuntaskan hajatnya dan lelaki tua itu langsung pulas dalam kepuasan puncaknya.
Tepat sebelum tengah malah jendela kamarku diketuk pelan. Pasti Darno.
Sedikit kurapikan rambutku, perlahan menyelinap keluar kamar. Kulewati lorong yang sedikit panjang dari kamar menuju dapur dan pintu di samping timur rumah besar ini. Kutemui Darno di sana.
"Mardikun ndak jadi datang, Nik," bisik Darno.
Aku mengerutkan alis, menunggu kalimat berikutnya.
"Juragan Warso menyuruhnya mengirim gabah malam ini juga. Mungkin dua hari lagi baru kembali." lanjutnya.
Ada rasa kehilangan yang mendadak hadir. Rasa hangat yang sempat menjalari hatiku, tiba-tiba senyap, dingin. Pertemuan dua minggu lalu masih sangat membekas. Kerinduan ini akan makin menumpuk.
"Dia #kasih ini, Nik." Darno memberikan surat dari Kang Mardikun. Kuterima surat itu dengan senyum lega. Setidaknya rindu ini terobati dengan beberapa kalimat dalam surat ini.
"Suwun." jawabku singkat sambil mundur hendak kembali ke dalam rumah.
"Surat siapa itu Nik?" tiba-tiba Koh Kong Lie muncul di belakangku. "No, ngapain kowe di situ?" tegurnya ke Darno.
PS: 889 kata
YOU ARE READING
Seribu Bangau Kertas
Historia CortaSetiap kisah punya cara masing-masing untuk menemukan takdirnya. Tak ada kisah tanpa makna, karena ada seribu harapan dalam tiap episodenya.