Sampaikan Salamku Untuknya

190 4 6
                                    

"Hilaaaaaaaaalll......." Mau berangkat kapan? Udah jam enam, kayak ngga jauh aja sekolahnya!" Kata-kata itu terngiang dibenakku. Aku sungguh rindu ayah. Ayah yang biasa mengantarku ke sekolah. Ayah yang biasa membelaku saat dimarahi ibu. Ayah yang peduli dan sangat menyayangiku meski tak pernah ia utarakan. Tapi aku yakin, dibalik sifat cueknya, ia adalah laki-laki hebat yang bertanggung jawab.

Aku menengadah. Menatap langit biru dengan awan putih yang berkejaran. Derap langkahku masih menyusuri jalan setapak di Negeri Jiran. "Tiga bulan lagi..aku akan pulang ayah." Ucapku dalam hati.

***

"Smashh!" Ayah memamerkan gigi putihnya karena berhasil membuatku mati dengan pukulan telaknya. Aku mengatur nafas, menyeka peluh dan bersiap menerima bola selanjutnya. Ayah melakukan serven dengan tenangnya. Aku memukul bola itu dengan raket yonex bersenar kuning. Ayah membuat bola itu melambung tinggi. Sengaja memancingku untuk melompat dan melakukan jumping smash. Aku melompat mengikuti permainan yang dibuat ayah.

"Smashh!" Ayah berhasil menangkis bola. Tapi sayang, keluar. "Yeee..pindah bola!" Kataku.

"Udah ah, capek. Gerah, ayah mau mandi." Ayah berjalan ke arah dapur. Menyimpan raket ke dalam tasnya dan menaiki tangga.

Kalau saja mesin waktu itu benar-benar ada, aku ingin memilikinya. Aku ingin menggunakannya untuk kembali ke masa lalu. Masa dimana ayah masih bermain denganku. Menghabiskan waktu bersama. Olah raga bersepeda, lari pagi, renang, dan main bulutangkis. Mungkin hal itu bisa saja terjadi saat ini. Tapi dengan rasa yang berbeda. Karena usiaku yang kian dewasa, dan ayah yang bertambah tua.

Aku duduk sebentar di bangku taman. Mengambil beberapa potret gambar dari sekitar. Ada anak kecil yang sedang bermain ayunan dengan ibunya. Ada anak laki-laki yang sedang menerbangkan laying-layang ditemani sang ayah. Ada sebuah keluarga yang sedang bertamasya. Ada seorang nenek dengan beberapa burung disekelilingnya. Dan ada kakek tua yang sendiri tanpa siapapun disampingnya.

Kusimpan kembali kamera hasil tabunganku. Dan memandangi satu-persatu dari mereka. Orang-orang yang ada dalam kameraku tadi. Semua itu merupakan gambaran yang nyata dari kehidupan. Ada bahagia, sepi, bahkan sedih. Kita pasti mengalaminya sebagai layaknya manusia

***

"Ayah, aku mau ikut" Ingatku saat kelas dua Sekolah Dasar.

"Ikut kemana?" Ayah menghentikan aktivitasnya.

"Aku mau ikut ayah main bulutangkis. Sama Om Udin, sama Om Nur"

"Udah malem. Besok kesiangan sekolahnya. Kamu kan susah bangunnya."

Kenangan itu benar-benar masih tersimpan baik dalam memori ingatanku. Ingatan tentang masa lalu yang memberiku banyak pelajaran. Seperti halnya sejarah, ia tak boleh dilupakan dan dibuang. Tapi dipelajari dan dirawat dengan baik.

Hari ini, langit biru dengan mentari terik yang menggantung di selipan awan tipis. Bahkan hampir tak terlihat karena sinar mentari yang begitu bersemangat. Aku melangkahkan kaki ini tak sabar. "Ayah, hari ini aku pulang"

"Nih, hadiah dari ayah." Kata ayah sambil menyodorkan sebuah kaos jersey orisinil warna merah putih dengan lambang burung garuda kecil di sudut kiri atas. "Nanti pake pas kamu final." Sambungnya.

Aku tersenyum senang. "makasih ayah."

***

Soekarno-Hatta, 10.00 WIB

Semua aktivitas yang sudah menjadi rutinitas penduduk kota metropolitan negeriku tercinta kini kembali aku rasakan. Atmosfer hutan hujan tropis yang mulai terkikis dapat kunikmati lagi. Mulai dari angkutan umum, kegiatan jual-beli di pasar tradisional yang meluber hingga pinggir jalan, pedagang asongan, tukang parabotan, gerombolan anak sekolah sampai sibuknya para pegawai. Macet. Itu yang kurindukan. Hal yang paling dibenci ayah.

Sampaikan Salamku UntuknyaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang