Sang Orator

117 15 5
                                    

"Aji..Aji.." Suara ketukan pintu terdengar dari depan rumah Aji. Aji segera melihat keluar, dan ditemukannya sosok Panji, teman sepermainannya dengan raut wajah cemas.
"Ada apa Pan? Kau terlihat cemas sekali," Tanya Aji keheranan. Bertahun-tahun sudah mereka berteman, tak pernah dilihatnya muka Panji secemas ini.
Seorang Panji, preman pasar Limbanang yang dikenalnya sebagai sosok yang tak takut apapun kini tengah berdiri dihadapannya seperti habis diburu hantu.
"A-anu.. Paman Karung ditangkap petugas satpol PP!" Pengakuan Panji membuat Aji terperangah.
"Hah, serius kau? Dimana?" Tanya Aji tak percaya.
"Di alun-alun. Kau ikut tidak? Tak usah banyak tanya!" Ujar Panji tak sabar. Aji mengangguk dan segera menduduki sadel sepeda usang Panji.
Lelaki kurus itu-anak-anak disini biasa memanggil beliau Paman Karung. Bukan tanpa alasan mereka menyebutnya demikian. Sesuai namanya, Paman Karung selalu menggondol sebuah karung usang yang telah menguning warnanya. Ketika malam tiba, ia akan tidur beralaskan karung kesayangannya di bale-bale desa. Selain beberapa potong pakaian dan sarung motif kotak-kotak yang telah kusam warnanya, tak ada seorang pun yang tahu pasti isi karung yang selalu digondolnya kemana-mana itu. Bahkan, nama aslinya saja orang kampung tak tahu.
Di bulan-bulan penuh demonstrasi, ia sering turun langsung untuk berdemo. Aparat semakin keras dan gencar menghadapi para demonstran yang turun ke jalan menuntut Gubernur mundur. Berkali-kali terjadi bentrokan. Aparat tak hanya menembakkan gas air mata. Tembakan peluru pun dimuntahkan, bersamaan dengan tujuh demonstran yang luka tertembak dalam satu bentrokan.
Satu orang ini, karismanya melebihi karisma orang penting di kampung Limbanang. Ia sangat suka tampil berorasi di atas mimbar untuk menyampaikan pemikiran rakyat yang tak sesuai dengan pemerintah. Di bawah pimpinannya, aksi demo selalu berjalan lancar. Ia berorasi dengan tepat sasaran.
Namun, uniknya, disamping sebagai aktivis demo, ia juga acapkali bercerita tentang aksi demo dalam bentuk cerita fiksi. Hiburan inilah yang selalu ditunggu anak-anak kampung Limbanang.
"Ji, agaknya kemana petugas-petugas itu membawa paman karung ya?" Panji membuka suara, masih dengan tatapan kosong. Matanya nanar memandangi keadaan alun-alun yang sudah berantakan diacak-acak oleh petugas Satpol PP. Dagangan-dagangan berserakan di jalan, gerobak dagangan pun sudah tak berbentuk lagi.
"Entahlah Pan, akupun tak tahu.Hilang sudah satu-satunya mesin penghibur kita." Jawab Aji tak bersemangat.
Tiga hari sudah, semenjak Paman Karung menghilang. Selama itu pula bale-bale kampung Limbanang sepi akan teriakan lantang sang pencerita, persis seperti Sang Orator.

Hingga...

Di salah satu sisi jalan di kampung Limbanang, Paman Karung berjalan terseok-seok sembari dipapah oleh Koh Lim dan Pak Arifin. Mukanya babak belur, matanya bengkak bak sarang tawon, lebam biru menghiasi hampir seluruh wajahnya, darah mengucur dari sudut bibirnya.
Anak-anak segera menghampiri. "Pak,kenapa Paman Karung bisa seperti ini?" Tanya mereka tak sabaran. "Entahlah nak, saya pun tak tahu pasti, yang jelas kami menemukannya di losmen pasar dengan keadaan sudah seperti ini." Kata Pak Arifin seraya mendudukkan Paman Karung di bale-bale. Pak Arifin pun meminta Koh Lim untuk mengambil obat-obatan di rumahnya.
Menurut kabar burung yang beredar, Paman Karung memang ditangkap Satpol PP untuk dimintai keterangan, karena ia dianggap sebagai provokator kericuhan yang terjadi di Alun-alun kota minggu lalu. Tetapi, ia sudah dinyatakan tak bersalah dan dipulangkan kembali. Tetapi,di perjalanan pulang, ia dikeroyok oleh segerombolan orang tak dikenal. Ia dipukul dengan pentungan dan dihajar habis-habisan.
Masyarakat berkata ini soal politik. Gerombolan orang itu adalah orang bayaran para petinggi yang benci dengan kehadiran demonstran yang menghambat lancarnya rencana busuk pemerintahan mereka. Namun, insiden ini dengan cepat menghilang dari cerita masyarakat. Bagaimanapun, Paman Karung memang sering berurusan dengan orang bayaran. Tak asing lagi ia kembali dengan wajah penuh lebam. Tapi, hingga bermandikan darah? Baru ini ceritanya.
21 Maret 2017, demonstran membludak di alun-alun kota, kantor walikota, dan pangkalan rezim pemerintahan lainnya.
Disana, diatas mimbar itu, Sang Orator tengah berseru lantang, menyerukan masalah buruh yang dipecat tiba-tiba dan pemotongan gaji buruh hingga 20%.
Telunjuknya teracung-acung di udara, bulir-bulir keringat sebesar biji jagung menghiasi dahi dan hidungnya yang besar. Teriakannya lantang dan perkasa, menggema diantara ribuan demonstran lainnya.
Dari selepas shalat Jum'at, demo berjalan tertib dan lancar. Namun, hal yang tak terduga terjadi. Keriuhan pecah ba'da maghrib, 7 mobil TNI habis dibakar massa, 2 orang polisi dan puluhan demonstran terluka.
Lagi-lagi, politik bertanggung jawab dalam permainan ini. Rezim pemerintahan bejat ambil andil dalam kericuhan ini. Walikota pun mengatakan bahwa politik adalah dalang dan kayu bakar dari semua kericuhan ini.
Begitupun dengan sandiwara Paman Kantung dalam teater kehidupannya. Siapa yang akan menyangka, demonstrasi kali ini adalah demonstrasi terakhirnya. Nyawanya dikorbankan di aksi demo kali ini. Lagi-lagi ia menjadi sasaran gerombolan orang tak dikenal.
Namun, kali ini pertahanan tubuhnya berhasil dibobol oleh orang-orang bayaran itu. Tubuhnya terkapar di gang kelam sudut pasar, bersimbah darah, dibalut luka lebam, tubuhnya kaku dengan puluhan semut bersarang di rongga telinganya.
Sungguh malam nasib Paman Karung. Seluruh desa berduka atas kepergiannya dengan cara yang mengenaskan.
Bagaimanapun, itulah konsekuensi yang harus dihadapi oleh seorang yang menjadi incaran rezim sesat pemerintahan sepertinya. Dan berkat kegagahannya dalam berorasi, Walikota mengambil keputusan bijak. Pemotongan gaji buruh akan ditiadakan dan mengenai pemecatan buruh tiba-tiba akan segera ditangani.
Paman Karung, nama yang masih misterius. Ketika mengurus jenazahnya, barulah orang sekampung tahu isi karung yang lusuh itu. Ada pakaian, sarung, dan sepucuk surat yang berisi foto Paman Karung dan seorang wanita beserta anak kecil dalam gendongannya. Foto tua yang lusuh, tapi masih terjaga. Di dalam surat itu, terdapat kenangan yang mengusik alam pikir dan mengguncang jiwa.

Semoga kalian baik tanpa aku.
Hidup kalian akan lebih terjamin dengannya.
Dibandingkan denganku,
aku hanya seorang orator yang suka berteriak di atas mimbar, yang miskin, yang sering lapar.
Kurelakan kau menikah dengan karibku. Kuharap kau paham, disini aku bahagia dengan orasiku..

Ahh.. Paman Karung yang malang.
Kasihan dia, tetapi bagaimanapun ia tetaplah pahlawan bagi masyarakat yang mencintainya.

Payakumbuh,22-09 2017

By: Ukhtii_Aimee

Thank for read my story..

Hai,udah baca karya aku kan? So,Gimana?
I'm Newbie.. Semua kritik dan saran kalian sangat berarti buat aku.. 😃
You can find me at :
Fb : Amelia Ratih Amanda
Ig : @aml.amanda

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 24, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sang OratorTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang