Sembilan belas - SAVE THE BEST FOR LAST

13.5K 1K 33
                                    

2.5K words. jangan protes kalau kurang panjang dan typo bertebaran ;p


Hari berganti hari. Minggu berganti minggu. Tanpa terasa, pernikahan sudah tinggal menghitung hari. Nabila yang mulanya repot, kini semakin serba repot. Tapi untungnya, keluarganya dan nyonya Miranda selalu membantu persiapan pernikahan. Sehingga Nabila cukup bernafas lega karena pertolongan mereka. Bagaimana nasibnya kalau Nabila hanya sendiri? Mana dia sudah tak ber-ibu lagi. Siapa yang mau menuntunnya?

Dan sudah seminggu ini Nabila cuti. Karena ada tradisi pingitan. Nabila tak boleh keluar kemana-mana, belanja, bekerja maupun bertemu dengan Bram. Hanya dirumah. Melakukan perawatan yang dipaksa oleh mbak Heni, mbak Rere, dan mbak Kia yang merupakan saudara jauh menginap di Jakarta. Supaya katanya calon mempelai wanita dibikin pangling. Nabila juga harus berpuasa.

"Nab, kamu sudah luluran?" tanya mbak Rere melewati pintu kamarnya. Nabila memutar kedua bola matanya bosan.

"Sudah, mbak. Sampai kulitku merah." Nabila kurang suka mengolesi krim ke kulitnya. Dia harus kerja keras menggosok lulur kasar itu sampai dakinya keluar lalu kulitnya menjadi langsat. Aneh saja. Dia kurang terbiasa. Padahal dia perempuan.

"Maskeran?" tanya mbak Rere lagi.

"Iya sudah semua." bersamaan dengan itu ponselnya berdering. Nabila mengeceknya lalu tersenyum manis. Menutup pintu kamar rapat supaya tidak ada yang dengar Nabila tengah bertelpon ria dengan sang calon suami.

"Mas..." sebut Nabila penuh nada rindu. Bram disana terkekeh mendengarnya.

"Kangen ya?"

Iya, aku kangen mas Bram.

Nabila tersenyum merajuk.

"Hmm..."

"Mas juga kangen kok. Kamu lagi ngapain?"

"Habis luluran sama maskeran. Capek. Masa gosok kulit tiap hari sampai sakit semua." aku Nabila melihat kulitnya yang memang lumayan halus.

"Ya udah stop aja. Sehari nggak luluran kan nggak masalah."

"Tapi kata mbak Rere tuh aku harus bisa manglingin nanti pas nikah sama pas malem pertam...ehk.." Nabila menutup mulutnya cepat. Matilah, dia keceplosan. Masa sudah ngomongin tentang malam pernikahan kan tidak etis. Nabila merutuk dirinya sendiri. Ada keheningan sejenak diantara keduanya.

"Eh...ya gitu, mas..."

Duh bego bego!

"Hahaha...jadi biar keliatan cantik banget gitu ya pas malem pertama? Duh, mas nggak sabar jadinya, Nab."

Blushh. Pipi Nabila memerah seperti kulit kepiting rebus. Dia menggigit bibirnya salah tingkah. Bram terus tertawa menggodanya. Sampai tawanya perlahan melamban dan Nabila merasakan lelaki itu disana tengah tersenyum simpul.

"Kamu sederhana kaya biasanya aja udah cantik. Gimana nanti...mas pengen skip hari aja."

terangnya dengan nada teduh. Membuat Nabila amat dicintai dan dihargai sebagai wanita. Dan wanita itu merona manis.

"Sabar ya, mas. Sehari lagi."

"Habis aku ijab qabul, baru bisa ketemu ya?"

"Huum. Kaya kata lagu. Save the best for last ya mas." perkataan Nabila membuat keduanya tersenyum lebar dan saling bertaut. Seperti ada koneksi diantara mereka. Sederhana, tidak berlebihan.

"Iya. Kamu 'the best' nya mas buat malam pertama." Dan Bram tergelak jenaka.

***

Diluar nampak riyuh terdengar. Nabila dapat mendengarnya. Namun dia tetap disini. Duduk di atas ranjangnya, tidak mengintip ke jendela, hanya duduk diam. Jantungnya sejak tadi kebat-kebit dan telapak tangannya sedikit-sedikit basah. Dia gugup. Apalagi saat tante Sinta masuk ke kamarnya dengan senyum sumringah menatapnya.

PERFECTLY IMPERFECTTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang