Waraqah, ialah rahib pembaca Taurat yang buta dan sudah renta. Nabi berpapasan dengan sang rahib dan menanyakan perihal yang menimpa dirinya di Gua Hira. "Apakah yang terjadi denganku wahai rahib?". Dikatakan padanya, "Sesungguhnya yang telah mendatangimu itu ialah Jibril yang juga mendatangi Musa dan Ibrahim". Kala itu, belum lama dari peristiwa pertama kali turunnya wahyu. Muhammad Saw belum reda keheranannya atas apa yang menimpanya. Lelaki tua itu pun melanjutkan perkataannya : "Wahai nabi Allah, ketahuilah. Engkau akan didustakan oleh umatmu, dicerca, dikucilkan bahkan mereka menginginkan untuk membunuhmu. Sesungguhnya, jika aku masih muda, aku ingin berada di dekatmu, menjadi pengikut dan menjagamu".
Lelaki agung itu berkerut dahi, masih memikirkan apa yang terjadi. Belum bisa diterima akal sehat, belum juga bisa dicernanya kata-kata itu. Tidakkah perkataan itu mengherankan. Bangsa Arab yang terdiri atas kabilah-kabilah yang menjunjung kekeluargaan, menjaga ikatan pertalian darah, suka atau tidak suka, senang atau tidak senang, naif cintanya, rela tumpah darahnya. Bagaimana bisa tabiat semacam itu menolak nabi yang diberi mukjizat agung.
Lama jeda menyelingi kemukjizatan berikutnya. Sang nabi baru itu pun berpikir, barangkali memang itu mimpi. Tidak nyata, barangkali ia berhalusinasi. Dadanya kini diselimuti keinginan bermeditasi kembali. Teruntuk Rabb yang menguasai isi hati. Kenabian itu tidak dapat ditolak, pun umat yang tertidur telah menunggunya. Jibril kembali menyambangi sang nabi. Perintah yang nyata diperdengarkan, "Ya Nabi Allah, qum fa'antdzir". Wahai nabi, bangunlah dan beri peringatan. Alangkah berat tugas baru itu. Apabila gunung-gunung diberi beban serupa, hancurlah ia berantakan, tak sanggup menanggung beban. Perintah itu bermakna, bahwa seorang nabi terpilih, nabi akhir zaman, menerima taklif agar pesan tauhid ini tersampaikan ke seluruh penjuru manusia. Nabi Muhammad meresahkan dirinya, kemampuannya, sanggupkah ia? Tidakkah ia seorang yang ummi (tidak bisa baca dan tulis), yang lahir dan dibesarkan di tanah gersang semenanjung Arab. Sedang dunia ini begitu luas, dan padanyalah semua beban itu.
Kegoncangan batin mendera. Namun pesan itu terngiang pasti. Ia telah merasakan dada yang panas disengat api tauhid. Masyarakat diselubungi awan hitam kebodohan. Mereka menyembah sesuatu yang tidak memiliki faedah sedikit pun. Menyelewengkan ajaran yang dibawa nabi-nabi sebelumnya, berhiaskan bid'ah-bid'ah dan kesyirikan yang nyata. Mereka mendatangkan tuhan-tuhan lain sebagai tandingan di hadapan Allah Swt.
Roda dakwah dipergilirkan. Nabi mengetuk hati orang-orang terdekat yang mempercayainya. Masuk Islamlah Khadijah, istri beliau. Masuk Islam budak-budak dan orang lemah. Masuk Islam pula salah satu orang terhormat, Abu Bakar. Rasul berdoa akan masuk Islamnya salah satu umar yang ada di kalangan mereka. Allah Swt mengabulkan Umar bin Khattab terpanggil dan bergabung dalam dakwah. Namun paman-paman nabi yang terlanjur keras hatinya, bersikukuh dalam barisan orang kafir yang kental memusuhi.
Tahun itu dikenal sebagai 'am al-huzn (tahun dukacita). Abu Thalib, yang selama ini melindungi dakwahnya telah wafat. Rasa sedih itu bertambah-tambah, tatkala nyata status kekafiran beliau hingga akhir hayat. Doa beliau terus terpanjat, sebelum akhirnya turun ayat, "Tidak pantas bagi Nabi dan orang-orang yang beriman memohon ampunan (kepada Allah) bagi orang-orang musyrik, sekalipun orang-orang itu kerabat" ( TQS At Taubah : 113). Sesungguhnya sang paman itu akan dijebloskan di tepian neraka, sebagai balasan setimpal atas kekafiran sekaligus pembelaan selama hidupnya di sisi nabi sallahu'alaihi wassalam. Sesungguhnya neraka tempat Abu Thalib adalah tempat sekecil-kecilnya kepedihan Jahannam. Tahun yang sedih itu disusul pula dengan kematin Khadijah. Istri nabi yang sudah menemani lima belas tahun sebelum kenabian, sepuluh tahun dalam kenabiannya. Kecintaan yang takkan terganti dengan apapun.
Kejumudan Makkah yang semakin memancing pikiran nabi untuk terus berpikir dan berpikir. Terjadilah rahmat itu. Karunia yang meninggikan kenabian dan menampakkan keindahan kepribadian Muhammad Sallahu'alaihi Wassalam. Memahami kabilah Arab Makkah beku dan tidak secara penuh menerima kenabian, secara sembunyi-sembunyi nabi berangkat keluar Makkah. Atas pertimbangannya, memilih Thaif sebagai tempat strategis yang kelak menerima dakwah. Disana beliau mendatangi kalangan pembesar dan mempresentasikan keperluan dakwah. Beliau bertutur, "Aku datang menemui 3 pembesar Thaif yaitu Abd' Yalil, Mas'ud dan Habib. Mereka adalah putera Amr Ats-Tsaqafi. Jauh panggang dari api. Bagai anak panah dilarikan angin. Bukan menerimaan yang beliau terima, celaan demi celaan dihadapi hamba Allah yang agung itu. Orang pertama berkata, "Aku akan mencabik-cabik kain Ka'bah jika Engkau adalah utusan Allah". Orang kedua berkata pula, "Apakah Allah tidak menemukan orang selainmu untuk dijadikan Rasul-nya". Pedas bukan main. Orang ketiga melengkapi penolakan itu, "Aku tidaka akan bicara. Jika engkau dusta, aku lebih berkuasa untuk membalas pendusta sepertimu. Tetapi jika jujur, aku khawatir akan terjadi sesuatu yang buruk terhadapku". Ini yang disebut menganiaya lewat kata-kata.
Nabi bermohon izin dan mengutarakan satu permintaannya : "Jikalau kalian menolak misi dakwah ini, maka janganlah kalian mengabarkan penolakan ini kepada masyarakat". Pelecehan lisan berujung kepada cederanya raga nabi Allah ini. Petinggi Thaif malah menyuruh orang-orang mereka untuk mengusir dan melempari Muhammad. Bahkan orang-orang pandir (bodoh) tak luput ikut membodoh-bodohinya. Seolah kebodohannya kini memiliki pesaing baru dan dirinya lebih terhormat.
Bercucuran darah, hasil pengusiran yang memalukan itu."Kau hanyalah jari berdarah. Di jalan Allah, hal seperti ini tidak ada artinya apa-apa", rintih nabi.
Nabi mengangkat tangannya, mengadukan kegundahan hatinya di jalan dakwah ini. "Ya Allah, kepada-Mu kuadukan lemahnya kekuatanku, sedikitnya caraku, dan ketidakberdayaanku menghadapi manusia, wahai Zat yang Maha Pengasih di antara yang Pengasih. Engkaulah Tuhanku. Kepada siapakah gerangan Engkau akan menyerahkanku? Kepada yang jauh dan bermuka masam kepadaku, ataukah kepada usuh yang akan menguasaiku? Entahlah, asal Engkau tidak murka kepadaku, aku tidak peduli. Ampunan-Mu lebih luas bagiku. Aku berlindung kepada cahaya-Mu yang menyinari segala kegelapan dan menjadikan baik seluruh urusan dunia dan akhirat, jangan sampai Engkau marah dan murka kepadaku. Bagi-Mu-lah segala teguran dan peringatan. Tiada daya dan upaya melainkan karena-Mu."
Kesedihan demi kesedihan merasuki hati. Di bawah kebun anggur, nabi merebahkan diri. Kebun itu milik Utbah dan Rabi'ah, putra Syaibah. Kondisi itu membuat keduanya iba, lantas menyuruh hamba sahaya bernama Adas untuk menawarinya Anggur pelepas haus dan lapar."Bismillah", nabi menerima pemberian sang budak dan mendahulukan dengan bacaan itu sebelum memakannya. Alangkah aneh hal itu di telinga budak itu. Ia tak dapat menahan diri untuk bertanya : "Apakah yang engkau bacakan tadi?". Nabi menjelaskan itu sebagai adab dan kalimat ketuhanan. Tuhan yang satu, tidak ada sekutu baginya.
"Siapakah namamu?"Ia menjawab, "Adas". Rasulullah bertanya lagi, "Apa agamamu?", Ia menjawab "Aku seorang Nasrani". Rasulullah bertanya, "Dari manakah engkau berasal?" Ia menjawab, "Aku dari Ninawa". Rasulullah berkata, "Ninawa itu negeri orang yang saleh bernama Yunus bin Mata". Mendengar penuturan Rasulullah tersebut, Adas balik bertanya, "Bagaimana engkau tahu? Siapa yang memberitahumu? Bagaimana bisa engkau mengenal Nabi Yunus?" Rasulullah menjawab, "Dia nabi, aku pun juga. Jadi, kami bersaudara. Di saat itu pula, ia berucap syahadat di hadapan nabi. Adas menaruh hormat pada utusan Allah itu, ia mencium tangan khidmat.
Sesingkat itu, hati satu orang manusia tercelup hidayah. Sementara negosiasi yang barusan dilakukan, tidak mengetuk jiwa mereka sama sekali. Nabi mencermati kejadian ini. Memetik hikmah yang tiada bandingnya. Bagaimana seorang manusia bisa langsung masuk Islam melalui lafadz bismillah. Dan seorang lain tidak menerima Islam, walau argumentasi sudah terpampang di depan mata. Jibril yang telah diberi hak prerogatif oleh Allah Swt menawari nabi pilihan yang dulu juga diberikan pada nabi-nabi sebelumnya. Hai nabi, sesungguhnya dua gunung itu berada dalam jemariku. Maka apakah engkau menghendaki agar gunung itu aku tindihkan ke bumi orang-orang yang melecehkanmu?.
***
Geram. Marah. Murka. Sebagai seorang manusia, tentu saja kita memiliki semua perasaan itu. Karunia menyelimuti nabi yang berduka, sedang hatinya terpaut energi dakwah. Maka ia kemudian berkata : "Wahai Jibril, janganlah engkau timpakan bencana pada mereka. Sesungguhnya apabila satu orang saja dari mereka masuk Islam, maka itu akan berdampak pada keturunan mereka dan berlanjutnya kalimat Allah di bumi". Subhanallah, rasul memilih bersabar dan tidak menggunakan haknya. Rasul memikirkan potensi dakwah yang akan terjadi selanjutnya. Ia mengesampingkan rasa sakit hati, beban di dada, sakit di raga dan menanggung rasa malu akibat penolakan itu. Sementara olok-olokan orang fasik semakin mendera kelompok dakwah nabi, dan tetap kesabaranlah yang beliau jalani. Dia yakin, pertolongan Allah Swt itu akan datang, sekali-kali Dia tidak akan meninggalkan hambaNya.
Kepribadian nabi ini menghentakkan hati manusia yang mau memikirkan. Adakah karunia yang melebihinya? Nikmat iman, dimana dengannya dada terasa lapang. Islam menjadikan hidup menemukan tujuan. Tujuan penghambaan pada satu tuhan saja. Tujuan menerangi lebih banyak lagi jiwa yang berada dalam kegelapan. Tatkala nabi kini telah wafat, tugas itu berada di tangan saya, kita semua. Karunia itu terlalu silau untuk disimpan sendiri. Sifat welah asih, berpikir politis, dan kemaafan yang tinggi derajatnya, melebihi nafsu-nafsu dunia. Inilah rahmat Allah yang turun ke bumi melalui hikmah. []
***
YOU ARE READING
Cuap-cuap Islami
De TodoNamanya juga cuap-cuap. Kadang curhat, kadang menggurui (diri sendiri). Sebagian isinya khazanah. Soalnya ada perkataan: "Sampaikanlah walau satu ayat" .