ARTHA
"That's all for this morning's Jakarta TV channel," ucapku kemudian menoleh sekilas kepada Jaka.
Jaka turut tersenyum kepada audiensi, kemudian kami serentak berucap, "Thanks for watching, have a great day. See you tomorrow."
Tepuk tangan langsung terdengar riuh di dalam ruangan. Jaka dan aku beranjak. Ia kembali duduk di kursi yang tadi kami tempati, sementara aku pamit sebentar untuk keluar. Atau sebenarnya tidak sebentar, karena jujurnya, aku hanya ingin menghindar.
Aku angkat kaki dari gedung universitas yang kini dijadikan lokasi kompetisi.
Setelah sekitar dua jam perjalanan melalui jalan raya yang lumayan padat sepanjang Cawang UKI sampai Pondok Rangon, aku akhirnya tiba di depan gerbang yang sudah lama tidak kukunjungi. Aku menyusuri tiap-tiap gundukan tanah yang berjajar rapi di sekelilingku.
Sampai tiba di salah satunya, aku berhenti melangkah. "Good afternoon, dearest sister," sapaku sambil melontarkan senyum. Aku bercangkung di sana, melafalkan berbagai macam doa kepada Yang Maha Kuasa. Ada satu buket bunga mawar putih yang jadi perhatianku.
Laki-laki itu lagi, pasti. Jaka datang ke sini tanpa memberi kabar kepadaku, lagi.
"Bil, gue telat enggak sih datangnya?" aku mengusap batu nisan yang tampak tidak berdebu seperti kebanyakan nisan yang lainnya. Pasti baru dibersihkan. Tadi pagi. Dan siapa lagi kalau bukan Jaka. "Gue sering ngajak Jaka ke sini, tapi ternyata Jaka selalu pergi sendiri."
"Pasti Jaka udah bilang kalau kita jadian."
Aku tidak tahu sudah berapa jam aku duduk di sini dan bercerita banyak kepada Billa. Pertama kalinya aku menyentuh ponselku, baru aku sadar kalau aku sudah terlalu lama duduk di sini. Ada sangat banyak telepon tidak terjawab dari Jaka, dan pesan-pesan yang belum dibaca.
Aku mencoba meneleponnya kembali, tapi tidak diangkat sama sekali.
"Bil, gue iri sama lo, banget," ucapku. "Bukannya kita serupa, ya? Tapi kenapa kita enggak sama? Kenapa gue selalu ada di posisi kayak gini? Gue enggak mau benci sama lo, tapi ... I can't lie, Bil. I want to be you."
Ponselku masih membiarkanku mendengar nada sambung. Teleponku tidak kunjung diangkat oleh Jaka. Bukankah tadi Jaka yang mencariku? Kenapa sekarang justru teleponku yang tidak diangkat?
Atau Jaka marah karena aku mengabaikannya ketika ia mengajakku berdamai pagi tadi? Wait. Tidak mungkin Jaka seperti itu.
"Kamu di mana?" setelah entah berapa puluh menit aku menunggunya, Jaka akhirnya merespons. Namun, bukannya menjawab, aku malah meneteskan air mataku. Aku tidak tahu kenapa, sungguh. "Ar, kenapa? Kamu di mana? Ke Billa, ya? Aku udah mau sampai."
Aku hanya bergumam. Berharap Jaka akan mengerti.
Telepon kami tidak terputus sampai kulihat Jaka tiba. Napasnya tersengal-sengal. Ia langsung mengakhiri telepon kemudian menyakukan ponselnya begitu mata kami berjumpa.
"Kamu kenapa?" Jaka bertanya lagi. Aku beranjak dari posisi bercangkungku. Aku hanya menatapnya dalam diam. Bagaimana aku menjelaskan ini padanya? Aku merasa benar-benar aneh jika harus jujur soal ini. "Why are you crying?" Jaka bicara lebih lembut.
Tapi aku hanya menggeleng.
Jaka mendekat, lalu tiba-tiba memelukku. Demi apapun, aku benar-benar terkejut ia sampai berani memelukku. Samar-samar, aku bisa mendengar jantungnya yang berdetak; Bisa merasakan napasnya yang berembus; Bisa merasakan nyaman yang tidak pernah kurasakan sebelumnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[TJS 2.0] Jakarta: The Next Year
Novela Juvenil[The Jakarta Series 2.0] JAKA Memasuki tahun ajaran baru, periodeku menjabat sebagai Ketua OSIS juga akan habis. Itu artinya, tugasku dengan Artha sudah hampir selesai. Dan kurasa, itu juga jadi satu alasan bagi hubungan kami juga ikut selesai. Aku...