Awal Jumpa

10 0 0
                                    

Anak yang ceria dan agak pemalu, itulah kesan orang terhadapku. Rambut ala dora serta bajunya yang serupa adalah kreasi ibuku dari tahun ke tahun karena beliaulah yang menjadi desainer dan penata riasku, "lebih hemat dan gak ribet ke salon" begitu katanya.

Orangtuaku salahsatu yang terpandang di desa. Bagimana tidak. Pekerjaan mereka adalah PNS Ketika sebagian besar penduduk desa adalah buruh tani, kuli, dan pengangguran.
Bagaimana tidak. Saat orang lain ke pasar menumpang mobil bak terbuka yang saat berjalan bunyi gesekan besi tuanya bikin ngilu. Sedangkan orangtuaku memiliki sepeda motor keluaran terbaru dan menjadi orang pertama yang memiliki kendaraan pribadi.
Bagaimana tidak. Saat orang-orang sibuk mencari sinyal radio, kami sibuk mencari sinyal televisi.

Aku terkadang merasa diperlakukan spesial atas nama orangtuaku.
"Hei, itu anak Bapak Itu" "Dia anak Ibu Itu".
Meski pada akhirnya aku tidak berani macam-macam dengan mereka.

Umurku 6 tahun dan gampang ditipu meski sebagian diriku tahu sedang ditipu tapi aku sengaja membiarkannya, karena itu keahlianku. Aku gampang memberi uang (lebih tepatnya dipalak) kepada mereka yang menyebut diri sebagai teman-temanku. Aku terlalu takut menolak, mungkin karena aku takut ditinggalkan dan takut sendirian, lagipula kekuatan ku satu-satunya adalah uang.

Suatu hari kamipun pindah ke kota, walaupun masih didaerah pinggiran.
Disana lebih banyak motor, tapi mobil pribadi masih sangat jarang, jadi kami masih masuk orang yang digolongkan kaya disana.
Akupun dimasukkan ke sekolah baru, dan itu mimpi buruk bagiku yang penakut, takut ditolak. Walau masih belia tapi aku sudah mengerti dengan strata sosial dikalangan anak-anak.

Hari itu Senin pagi yang cerah. Ibu mengantar dihari pertama masuk dan kebetulan langsung mengikuti upacara.
Ditengah kecanggungan karena atribut pakaian ku belum lengkap, ibu berkata ingin mengambil pulang sebentar kekurangan itu. Aku mengiyakan, walau ku tahu itu hanya siasat untuk meninggalkanku di tempat pertandingan bertahan hidup itu.
Aku berbaris paling depan bersama calon teman-teman sekelas. Dengan tatapan lurus memandang tiang bendera.

"Nama kamu siapa?"

Segera ku menoleh ke asal suara persis disampingku. Tinggi, hitam manis, bersuara lembut dan cantik, apakah dia menyapaku? Sungguh hatiku berdesir. Tapi aku masih SD, belum mengerti itu apa. Yang jelas dia seperti magnet.
Dan membuatku nyaman ke sekolah sejak saat itu.

Berakhir?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang