Satu
… Aku ingin hidup normal
Setiap hari itu yang kuucapkan di pagi hari, di depan cermin. “Aku ingin hidup normal.”
Kutarik nafas dalam-dalam dan tersenyum sendiri dengan diriku di cermin. Aku tampak tampan sekali hari ini. Setelan jas formil beserta dasinya, menyempurnakan penampilanku.
Masih mematut-matut diri di depannya. Tak percaya tiba juga hari ini.
“Rasya!!! Cepetan, bisa telat nih !!!!” teriakan Revan dari bawah sana cukup memekakkan telingaku. Maklum, dia ada keturunan Tarzan.
“Iya! udah selesai, nih!” seraya mengambil jubah dan togaku yang masih tergeletak di tempat tidur dan langsung turun ke bawah.
Di bawah, mereka sudah menungguku. Mama, papa, dan Revan. Mata mereka langsung terpaku padaku yang menjinjing jubah dan togaku.
Mama langsung menghampiriku, “Ini jubah kok, nggak langsung dipakai aja?”
“Nanti aja, ma, takut kusut kedudukan di mobil.”
“Nggak, nggak pa-pa. Pakai aja sekarang,” seraya mengambil jubahku dan memakaikannya padaku. Aku hanya bisa menurut.
“Nah kan, cakep,” mama puas melihatku dengan jubah kebesaran biruku.
Aku memamerkan senyumku, dan membuat mama terpana melihatku. Ia memandangku penuh perasaan. Terlihat rasa haru dan takjub. Serta merta dia langsung memelukku penuh kebanggaan.
Papa dan Revan hanya tersenyum melihatku
Hingga mama melepaskan pelukanku, tapi masih memandang dan mengusap pipiku.
“Udah, yuk berangkat. ‘Ntar terlambat, lagi,” Revan mengingatkan.
“Oh, iya, yuk,” mama segera mengapitkan tangannya padaku, dan bersama-sama keluar rumah menuju mobil yang sudah menunggu di depan.
Dengan dikendarai Revan kami menuju sekolahku. Ini akan menjadi hari terakhirku menginjak SMA-ku. Aku akan wisuda hari ini, dan mereka ikut menghadiri acara wisuda. Sayang Mas Raka tidak bisa datang. Ada tugas praktek di kampusnya.
Saat kami sampai di sekolah, alaman sekolah sudah dipenuhi oleh siswa dan para orang tua mereka yang akan menghadiri acara Wisuda hari ini. Kami hampir tak dapat tempat parkir. Tapi syukurlah masih ada tempat yang kosong, tak jauh dari pintu aula yang besar itu.
Revan segera berbaur dengan para adik kelasnya yang dulu dekat dengannya. Dua tahun tak terasa sejak ia lulus dari sekolah sini. Sementara mama kembali merapikan jubahku sebelum kami masuk ke dalam aula. Agak risih juga aku masih diperlakukan seperti anak kecil begini, terlebih teman-temanku melihatnya. Untunglah,
“Hey, Bim!” seruku pada temanku, dan melepaskan diri dari mama.menuju temanku.
“Eh, Rasya!?” mama siap menahanku.
“Biarin, ma,” Papa membelaku dan membiarkanku pergi. “Yuk, kita masuk,” seraya menggandeng mama masuk ke dalam Aula.
Acara wisuda berjalan dengan khidmat dan meriah. Di akhir acara, sudah menjadi tradisi sekolah kami, kami para lulusan melemparkan toga kami penuh kegembiraan merayakan kelulusan kami. Mama tak pelak menitikkan air mata saat aku ke depan menerima ijasahku dan penematan kelulusanku oleh kepala sekolah. Dan mama lebih menangis lagi saat aku berdiri di depannya dengan izasah di tanganku. Aku pun ikut menangis. Menangis bahagia!
Tidak ada yang mengira aku akan sampai di hari ini, hari kelulusanku. Orang memperkirakan aku tidak akan melaluinya. Dan aku pun merasakan itu. Kuhadapi perasaan takut itu dengan terus melawannya. Aku terus melawannya dengan tekadku untuk sembuh. Aku tidak akan kalah. Aku sudah pernah mengalahkannya dulu, dan sekarang pun tidak boleh kalah. Leukemia itu senang sekali mengganggu tubuhku dan menguji ketahananku. Tidak tanggung-tanggung, dia menyapaku pertama kali saat aku berumur 3 tahun, dan kembali menyerang saat aku kelas 3 SMP, karena itu aku sempat tertinggal kelas dan baru lulus SMA di umurku yang sudah 19 tahun. Keadaanku juga yang membuat perlakuan orang rumah menjadi berbeda. Tidak hanya di rumah tapi juga di sekolah. Meski mereka berusaha memperlakukanku dengan senormal mungkin, tetap aku selalu lebih diperhatikan. Itulah yang membuatkan terasa bosan dan sebal dengan perlakuan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bintang Jatuh
Romance… Aku ingin hidup normal Setiap hari itu yang kuucapkan di pagi hari, di depan cermin. “Aku ingin hidup normal.”