"Piu ...!"
Mata Dito bergerak gelisah saat mendengar namanya disebut oleh seseorang yang sangat dia khawatirkan sejak berjam-jam yang lalu itu. Perlahan, mata itu pun akhirnya membuka. Awalnya, pandangannya mengabur. Namun semakin lama, semakin terang dan semakin jelas.
"Miu ...?"
Dito sedikit kaget dengan kehadiran Vian yang telah berdiri di sebelahnya dan sedang tersenyum manis padanya. Vian juga terlihat sangat sehat dan segar bugar saat ini tanpa ada luka sedikit pun di tubuhnya. Membuat Dito heran sekaligus bahagia karena melihat Vian baik-baik saja setelah kecelakaan itu.
"Sayang, kamu baik-baik aja? Kamu belum meninggal? Kecelakaan itu--"
"Ssst ...," potong Vian seraya menggenggam tangan Dito. "Aku baik-baik aja, Piu. Tuhan sudah mengangkat semua rasa sakitku. Aku bahagia sekarang," ucap Vian lirih sembari mengusap punggung tangan Dito dengan lembut.
"Beneran?" tanya Dito ikut merasa bahagia. Vian mengangguk, kemudian mengusap pipi Dito dengan lembut.
"Tapi kebahagiaanku belum lengkap tanpa ada kamu di sisiku, Piu," katanya lirih.
Tangan Dito terulur untuk memegang pipi Vian. Vian pun menutup matanya untuk merasakan sentuhan lembut dari tangan Dito, lalu kembali mengusap punggung tangan Dito yang terasa dingin itu.
"Jangan khawatir, Sayang. Aku pasti akan selalu nemenin kamu sampai kapan pun," jawab Dito tak kalah lirih. Vian mengangguk, kemudian membuka matanya perlahan, lalu menatap Dito lekat-lekat.
"Aku tahu kamu pasti akan menepati janjimu, Piu," ujar Vian. "Tapi, apa kamu yakin akan ikut denganku? Gimana dengan Ines?" tanya Vian lagi.
"Ines ...?" ulang Dito dengan tatapan menerawang.
"Iya, Piu. Ines," jawab Vian tanpa mengalihkan tatapannya dari Dito.
Sesaat Dito hanya diam. Bayangan enam tahun kebersamaannya dengan Ines membayang di kepalanya seperti sebuah tayangan film.
Dito teringat saat-saat di mana dia duduk satu meja di tempat makan dan sedang dilayani oleh istrinya itu. Saat merawat Ines yang sakit karena perdarahan kecil di kehamilannya yang baru menginjak usia 16 minggu. Dia juga teringat kala susah payah dia mencari semangkuk sup buah yang Ines idamkan dan harus sama persis seperti yang Ines minta saat hamil empat bulan waktu itu.
Ingatannya pun langsung berganti dengan kejadian di mana dia menggendong istrinya dalam acara tujuh bulanan sebulan yang lalu. Bayangan wajah kebahagiaan Ines dan tatapan penuh harap sang istri padanya juga membayang dalam ingatannya saat ini.
Lalu dengan cepat berganti dengan bayangan pertengkarannya dengan Ines kemarin dan saat terakhir kalinya dia menatap istrinya itu sebelum pergi meninggalkan rumah.
Dari semua kenangan yang pernah terjadi antara dia dan istrinya itu, tak ada satu pun peristiwa yang membuat jantungnya berdebar-debar karena Ines. Dia melakukan semua itu hanya berdasarkan rasa sayang pada istrinya dan juga kewajibannya sebagai seorang suami kala itu.
Tak ada satu hal pun yang membuatnya memiliki ikatan kuat pada Ines serta menumbuhkan rasa cintanya pada istrinya itu, selain karena dia adalah ibu dari anak-anaknya.
"Aku sayang sama dia, tapi tetep nggak bisa mengubah perasaan cintaku ke kamu, Miu. Dia memang ibu dari anak-anakku, tapi aku nggak bisa buat hati ini menerimanya sebagai cinta dalam hidupku. Seluruh hatiku cuma milik kamu. Aku cinta sama kamu dan nggak ada tempat untuk orang lain di sana, selain kamu," jawab Dito tanpa ada keraguan sedikit pun.
Vian tersenyum menatap Dito, lalu kembali mengusap pipi laki-laki itu dengan sangat lembut.
"Aku tahu," jawab Vian penuh arti. "Aku juga cinta sama kamu. Itu sebabnya aku temuin kamu. Aku mau minta hatiku kembali dan membawanya pergi bersamaku," ucapnya kemudian.
KAMU SEDANG MEMBACA
BETWEEN YOU & US
General Fiction[COMPLETED] __________________________ Altavian Danish, tak pernah membayangkan jika ia akan dipertemukan lagi pada satu kesempatan dengan sosok laki-laki tampan yang dicintainya itu setelah sekian tahun. Anindito Mahawira, c...