Di kediaman Nina, gadis berambut pirang itu baru saja bangun dari tidur cantiknya, matanya mengerjap beberapa kali menyesuaikan pada cahaya yang masuk lewat celah jendelanya. Ck bodoh sekali siapa yang membuka gorden nya? Batinnya merutuk. Jari telunjuknya membersihkan kotoran matanya kemudian netranya menemukan selembar surat yang sepertinya di potong separuh. Matanya mulai menelusuri setiap kata yang tergabung disana. Seperti tulisan Carol, batinnya berbicara. Matanya melotot ternyata memang benar tulisan Carolina dan ia benar-benar meninggalkannya di sini tanpa teman mengobrol.
Cih, nyonya Horan katanya? Batin Olivia.
Ia mencoba membiasakan diri tanpa Carol teman mengobrolnya, setidaknya membicarakan The Boys. Kakinya membawa dirinya menuruni anak tangga kayu yang memberi kesan hangat pada rumah Nina, ia tidak menemukan siapa pun kecuali angin yang berembus melalui jendela. Ia mengingat sesuatu, Nina wanita tua yang sialan sibuk, oh tidak atau mungkin sok sibuk. Sebenarnya ia punya kedai roti walaupun tidak besar, Oliv tidak mengerti kenapa ia agak benci padanya. Ugh jika saja bukan karena The Boys, ia tidak akan mau tinggal disini. Tentu saja, Olivia masih berharap bisa bertemu lagi dengan mereka.
Penampilan sudah sangat modis sekarang dengan jeans hitam dan sweter serta dibalut mantel, cuacanya cukup panas namun udaranya dingin , ia berniat berkeliling kota London di siang hari mungkin saja sampai sore jika saja ini akan menyenangkan. Mata nya menelusuri setiap toko di persimpangan hidup di tengah kota seperti ini memang agak riuh, rasanya memang sudah tidak betah saja, Olivia menggerutu. Hingga pandangannya terkalihkan oleh kerumunan orang, ia mempercepat langkahnya guna mengenyahkan rasa penasarannya.
Matanya terbelalak mengetahui siapa yang terbaring di trotoar itu, Diana?. Gadis beruntung yang pernah bertemu dengan The Boys saat itu dengannya, ia mengedarkan pandangannya mencari sosok rambut hitam lainnya, Tarra. Namun ia tidak menemukannya. Hey kenapa mereka tidak membantunya malah bergumam ‘apakah ia mati?’ tolol saja manusia dewasa di sekelilingnya. Lantas tangannya merentang menyingkirkan kerumunan manusia dewasa yang kelewat bodohnya bahkan batinnya masih mencibir.
Tak seorang pun membantu kedua gadis itu, dunia terlalu sibuk untuk sekedar bertanya ‘apakah butuh bantuan?’. Gadis pirang itu memapah gadis Indonesia itu perlahan, ia kembali merutuki beratnya gadis yang dipapahnya. Bagaimana gadis dengan badan lebih kecil darinya bisa seberat ini.
“hey gadis kecil butuh bantuan” merasa terpanggil, Olivia menolehkan kepalannya ke belakang. Ia menemukan teroris, tidak-tidak hanya saja dengan topi, masker serta kacamata hitam yang menutupi wajahnya. Olivia agak takut, bagaimana pria didepanya itu penculik dan menjual dirinya juga Diana pada sebuah bisnis prostitusi, Olivi memaki pemikiran sialannya sendiri. “aku bicara padamu” suaranya terdengar datar, dingin dan kaku. Ck jika tidak ikhlas pergilah sialan, batin Oliv mencibir.
“tidak terima kasih tuan” pria itu tergelak remeh. Halah apa maksudnya dia?.
“berikan padaku” Oliv agak tersentak, pria itu merebut Diana bagaikan karung yang akan di angkatnya. Apa dia mengira Diana bukan manusia?.
“hey hey mau kau kemana gadis itu, dia temanku, tuan”
“diamlah Oliv, berisik”
Oliv tersentak untuk ke sekian kalinya, bagaimana pria asing itu mengetahui namanya? Seingatnya ia baru beberapa hari disini, lagi ia belum punya teman disini? Lalu bagaimana? Apa pria itu benar-benar penculik?. Pikirannya terus bercabang sepanjang pria itu menggendong Diana, ia mengekor, pandangannya jatuh pada tangan kiri pria itu. Ia cepat mengenyahkan asumsi itu, bahkan ada banyak bukan? Seseorang memakai tato gambar salib.
Pria itu meminta Oliv menunjukkan jalan ke rumahnya namun ia menggeleng, hey pria itu orang asing. Bagaimana jika ia menghafal jalan menuju rumahnya? Tidak maksudnya rumah Nina. Jadilah mereka disini, di sebuah flat tidak kecil juga besar hanya saja terkesan mewah.
Pria itu meletakkan Diana di sofa besarnya dan pergi begitu saja. Apa ia sedang mempermainkan Oliv?. Gadis itu tidak kunjung sadar. Sebenarnya dia ini kenapa?. Apa aku harus mengeluarkan kaus kakiku? Pikiran konyolnya terbesit di otak Olivia. Suara tawa menggelegar pria dewasa tertangkap di netranya membuatnya semakin waspada, jika saja Carolina belum pulang ia akan menyuruh Carol mengambil tongkat baseball yang memukulkannya pada sekumpulan pria itu. Suara itu semakin mendekat saja seiring ketakutannya membuncah. Ya ampun ini drama sekali, tapi ia benar-benar takut saat ini.
Siapa pun berikan ia oksigen manualnya sekarang, matanya hampir lepas dari tempatnya saat ia melihat siapa suara sekumpulan pria dewasa itu, The Boys?. Mereka juga sama terkejutnya dengan Oliv, bagaimana ada gadis cantik masuk ke dalam flat tersembunyi mereka. Oliv beranjak dari duduknya menatap ketiga pria itu dengan takjub seolah mereka malaikat yang baru saja turun dari surga. Tunggu, lalu bagaimana dengan pria yang menggendong Diana tadi, astaga apakah dia Harry? Tuhan jadi tadi aku berjalan bersama Harry?, gadis batinnya berjingkrak.
“siapa kau? Bagaimana kau bisa masuk?” Louis berusaha bertanya dengan baik-baik, siapa yang tahu jika gadis cantik itu adalah pencuri?.
“hey Tommo tenanglah ia hanya gadis kecil” Niall menghampiri Oliv yang masih tercengang dengan senyumannya.
Oliv tidak dapat berkata, pikirannya berkecamuk, hanya bagaimana memikirkan The Boys tinggal di flat kecil-sebenarnya tidak kecil juga. Bibir kecil nya masih belum bisa menutup seiring mendekatnya Niall, tangan pria itu seperti ingin meraihnya, oh Oliv tahu ia sekarang sudah sangat percaya diri. “hei ada apa? Apa kami mengejutkanmu?”
“bodoh saja Ni, seharusnya aku yang berkata seperti itu padanya” Louis berbicara sarkas membuat Oliv berpikir ‘kenapa Loui menjadi kejam?’. Oliv merasakannya telapak lebar Niall menggerayangi punggungnya lalu mengusapnya seperti memberi hiburan. Niall tahu gadis kecil itu agak takut dengan wajah menyeramkan Louis.
“kau ini kenapa? Apa kau sedang masa period mu, huh?” Niall tersenyum jahil mendapat putaran mata dari Louis. Merasa lelah mendengar mereka berceloteh, Liam melenggang pergi. Ia lebih baik face time dengan Cherly, pria itu sudah merindukannya sejak dua minggu lalu.
“baiklah ada apa dengan temanmu? Dia pingsan?” Oliv mengikuti arah pandang Niall yang terdapat Diana tengah terbaring dengan kaki menekuk, pria itu mengernyit. Keriting bodoh ia memang tidak tahu memperlakukan wanita. Oliv mengangguk.
“ya aku menemukannya di jalan yang sudah tergeletak, lalu Pria itu datang menolongku membopong Diana” Pria berkornea biru itu kembali mengernyit sembari menatap Louis dan Oliv bergantian, Louis menaikkan alisnya memasang wajah bertanyanya.
“pria itu? Tunggu apa yang maksudmu Harry?” kali ini Louis yang berbicara, Niall sibuk dengan pikiran bodohnya. Tubuhnya mulai bergetar kecil mendengar pernyataan jika pria seperti teroris itu adalah idolanya. Namun gadis pirang itu tidak ingin percaya diri, ia ingin bereaksi biasa saja didepan Niall.
“entahlah pria itu meninggalkan ku masuk” jelas Oliv begitu polos.
Maafkan ketypoan yang hqq.
Votments!!1!!
KAMU SEDANG MEMBACA
Dreams, One Direction (End)
FanfictionKisah dua remaja Indonesia bertemu idola serta sesama teman fangirl nya. Terjadi sangat singkat tapi berulangkali dan menjumpai cinta yang tak terduga. Itu yang terjadi pada Diana Evan. #89 - dreams 110718