The hug

2.7K 198 3
                                    

Kiara menekuk lututnya di pojok ruangan, matanya bahkan tidak berkedip. Ia benar-benar kosong. Mengingat kejadian di perpustakaan tadi membuat hatinya berdenyut sakit. Setetes air mata turun disusul dengan tetesan lainnya, begitu deras sampai rasanya Kiara tidak mampu lagi untuk menarik napas karena sesak.

Ia berteriak dalam hatinya, kenapa harus dipertemukan kalau tidak bisa bersatu?

Kenapa harus ada perasaan cinta saat mereka berdua tahu bahwa suatu saat mereka tidak lagi bisa saling bertemu?

Kenapa harus selalu ada hati yang di korbankan dalam percintaan? Mendoakan dari jauh? Melihatnya bahagia dengan orang lain saja sudah cukup? Omong kosong.

Nyatanya, membayangkan Adelardo akan tersenyum di samping gadis lain membuat tangisan Kiara semakin kencang. Ia ingin membalas ciuman Adelardo tapi tidak, ia tidak melakukannya. Karena Kiara tahu, dengan melakukan hal itu sama saja ia mengakui benar perasaannya kepada Adelardo.

Kiara tidak ingin, ketika ia sudah berbahagia dengan Adelardo di waktu yang singkat ini tiba-tiba Ker datang dan mengacaukan semuanya. Hal terburuk yang bisa terjadi adalah Kiara meninggalkan Adelardo untuk selamanya.

Kenapa Kiara begitu yakin ia akan mati melawan Ker?

Karena ia dibesarkan sebagai manusia bukan sebagai seorang Dewi.

Bahkan semua ini masih terasa bagaikan mimpi bagi gadis yang sudah menjabat sebagai Ratu diusia mudanya itu. Kiara tidak siap untuk semua ini, bahkan fakta bahwa ia adalah salah satu anak dari Zeus masih sedikit mengganggunya. Kalau bisa, Kiara bahkan ingin lari sejauh-jauhnya, melarikan diri dari semua permasalahan tidak berujung ini.

Kiara mengatupkan bibirnya, meredam tangisan yang semakin tidak bisa dikendalikan. Kalau bisa memilih, Kiara ingin mati saja. Secepatnya, sekarang kalau itu mungkin.

"Adik."

Dengan cepat Kiara memalingkan wajahnya, berusaha menghapus air matanya dan tersenyum pada Apollo. "Ada apa, kakak?"

Apollo menghela napas, tidak habis pikir adiknya akan mengurung diri dan menangis sendirian di kediaman ibunya. Ia mengulurkan tangannya, membawa Kiara masuk kedalam pelukannya. Kiara meronta, tapi Apollo semakin mengeratkan pelukannya.

"Kakak. Lepaskan."

"Kau benar, lepaskan Kiara. Perasaanmu, kegundahanmu, kerisauanmu, kecemasanmu. Kau mungkin bisa menyembunyikan perasaanmu selama bertahun-tahun dihadapan orang lain. Tapi ini aku, kakakmu. Menangislah Kiara, aku ada disini untukmu."

Tepat setelah Apollo mengatupkan bibirnya, Kiara menangis. Ia tidak menahannya kali ini, ia meraung, meremas baju berbalut jubah emas. Tidak mempedulikan apapun lagi, hanya kali ini saja.

Kiara ingin melupakan semua masalahnya, ia lelah harus hidup seperti ini. "Aku benci kenyataan ini kak. Kumohon, aku ingin kembali ke kehidupanku yang lama. Aku benci." racaunya.

"Untuk apa kembali kalau untuk berdiam diri dalam kesepian dan kesendirian? Apa kau gila?"

Kiara menggeleng. "Mari, antar aku ke tempat Ker. Biar aku mengorbankan diriku. Tidak perlu ada pertumpahan darah disini."

"Kau memang sudah gila."

Apollo melepaskan pelukannya, sekali lagi ia menatap kedua mata Kiara yang sudah memerah. "Sudah kukatakan berapa kali hm? Kamu adalah adikku, kamu juga adalah penghuni Olympus. Kamu adalah seorang Dewi, pantaskah seorang Dewi mati tanpa mempertaruhkan harga dirinya? Bayangkan apa yang akan kau katakan pada ibumu di Nirwana nanti?"

Hening.

"Hey! Kurasa kau benar. Aku tidak bisa menghiburnya. Tapi kau bisa, Adelardo. Kuserahkan adikku padamu." Apollo berdiri kemudian berlalu meninggalkan Kiara yang bingung kenapa kakaknya menyebut dan seperti berbicara pada Adelardo.

Dan kebingungannya terjawab sudah ketika ia melihat tubuh besar Adelardo muncul dari balik dinding.

"Mau apa kau?"

Adelardo masih berdiri dengan senyum merekah. "Apa anda seperti ini karena ciuman saya, Yang Mulia?"

Blush.

"Ah, ternyata saya benar." Adelardo berjongkok didepan Kiara. "Pasti ciuman itu sangat berarti untuk anda, wahh."

"Pergilah." balas Kiara dingin. Ia tidak mau mendengar kata-kata Adelardo lebih lagi.

"Hey, lihat aku." ucap Adelardo. Bukannya menolehkan kepalanya Kiara justru bangkit berdiri tapi Adelardo menariknya turun dan langsung mengunci pergerakan Kiara. "Kubilang lihat aku."

Adelardo menghela napas. "Aku minta maaf untuk ciuman itu. Itu kesalahanku, karena aku tidak bisa menahan diriku. Aku hanya ingin kau mengetahui perasaanku. Dan aku juga ingin kau tahu bahwa aku sangat ingin melindungimu Kiara. Mungkin, aku juga memikirkan hal yang sama denganmu. Ada beberapa hal yang menghalangi kita untuk bersatu."

"Adelardo aku tidak ingin mendengar omong kosongmu. Pergilah."

"Tapi aku yakin kita bisa melewatinya, jangan khawatirkan masalah Ker. Ia tidak akan bisa menyentuhmu karena ada aku, ada Apollo, ayahmu, paman Poseidon, bahkan ibuku dan bibi Athena."

"Kemarilah." lanjut Adelardo.

Ia membentangkan tangannya, dan entah kenapa Kiara justru dengan sendirinya masuk kedalam rangkulan dewa itu. Kiara benar-benar kehilangan kewarasannya. Bahkan, hanya dengan berada dipelukan Adelardo dan mencium aroma tubuhnya bisa menenangkan kegundahan Kiara.

"Aku mencintaimu." ucap Adelardo sambil mengusap lembut rambut Kiara.

Lagi. Setetes air mata jatuh, Kiara sudah terlalu jauh.

Sudah terlambat untuk berbalik dan berlari menjauh dari Adelardo. Sangat terlambat.

Queen of Winter and The Moon Prince (SUDAH DITERBITKAN)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang