03. lagi dan lagi

697 58 2
                                    

Setelah sosok Edvan menghilang dari pandangannya, Aluna masih terus berdiam diri di meja tersebut. Pertanyaan tentang rindu tadi membuatnya merasa sedih. Berapa banyak rasa rindu terhadap sosoknya? Seberapa besar harapannya agar bisa menuangkan semua rasa rindunya? Jawabannya adalah lebih dan lebih. Aluna mengambil ponselnya, membuka galeri dan mencari sebuah foto, satu-satunya foto kenangan yang masih tersimpan sebelum semua menjadi berantakan.

Di foto itu mereka tertawa bahagia bersama, moment di mana biasanya dia habiskan berdua kala guru pelajaran tidak masuk. Ardan memegang gitar, duduk bersila di atas lantai depan kelas, sedangkan dirinya duduk bersandar di sisi dinding penyanggah—tepat berhadapan dengan Ardan.

"Bisa maen gitar enggak sih? Kalau gak bisa jangan sok pegang-pegang." Luna mulai terlihat sebal, sedari tadi dia gemas melihat Ardan hanya memetik-metik asal senar itu.

"Kalau aku mainin satu lagu bisa kamu janji?"

"Apa?"

"Jangan baper apalagi sampe terpesona. Bahaya!"

"Dish!" Luna melempar pulpen yang berada di saku seragamnya ke arah Ardan.

"Bilang aja gak bisa. Sok pake alasan."

"Nih, kalau gak percaya aku nyanyiin satu lagu deh buat kamu. Special pake bonus double keju."

Luna mulai merasa gerah dan tidak sabaran. Dia merasa mustahil sekali melihat Ardan bisa memainkan gitar di tangannya. Karena setahu dia, laki-laki ini tidak bisa memainkan alat musik satu pun, kecuali meja kelas yang berakhir ditegur guru yang tengah mengajar di kelas sebelah.

"Yang gampang aja deh. Naik-naik ke puncak gunung. Satu, dua, tiga,.." belum sempat Ardan bernyanyi, Aluna sudah lebih dulu menarik telinganya.
"Kamu pikir aku bocah TK?!!"

"IYA!!! AMPUN!!"

Ardan melepas tangan Aluna dari telinganya, mulailah dia memetik senar-senar gitar itu menjadi awalan nada sebuah lagu cinta.

"Hanya lewat nada, nada cinta yang kutulis untukmu, kan kuungkapkan perasaanku. Andai kau tahu, perasaanku kepadamu yang tulus dan murni dari hatiku."

Dalam seperkian detik, Aluna terhipnotis. Lirik lagu yang dinyanyikan Ardan membuat hatinya bergemuruh, aneh.

"Baper kan?" ledek Ardan. "Cie, Una baper ya?"

"Enggak! Biasa aja."

"Syukur deh. Jadi aku enggak dosa bikin baper anak orang."

"Mba Luna, waktunya jam makan siang. Mau makan bareng?" seruan karyawannya yang sudah bersiap-siap untuk keluar membuat Luna mengerjap sadar dan kembali dari dunia khayalannya tentang masa lalu.

Dia tersenyum miris. Bahkan setelah sekian lama berusaha untuk menghapus semua bayangan tentang dia selalu saja gagal. Lalu, mungkinkah di sana dia juga sama? Atau justru telah menemukan kebahagiaannya sendiri?

Mendung Bukan Berarti HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang