✒ 12. Bandung

10.9K 738 4
                                    

Aretha menggeliat, matanya terbuka sempurna saat hujan turun dengan derasnya diluar mobil. Matanya mengerjap, Jalan Braga, pasti Avender yang memilih lewat di jalan alternatif tersebut karena macet. Aretha mendesah, seperti baru saja lubang hidungnya kembang kempis ketika melihat jalanan itu. Bahkan dadanya kini berdebar lebih cepat dari sebelumnya.

Kuliner di sepanjang jalan Braga. Ah! Aretha benci mengingat masa itu. Masa dimana dia dan Delvian sering mampir kesana ketika malam minggu. Masa dimana saat ujian akhir SMP mereka malah memilih bermain mengelilingi jalan tersebut menggunakan motor tanpa helm. Lalu mampir di setiap kedai yang buka untuk hanya mencicipi jajanan malam.

"Tha, inget gak pas kita doubledate disini." Alena menoleh ke si pengemudi, lalu menoleh kebelakang, kearah Aretha yang mendengus tidak ingin mendengarkan. "Itu loh Tha, yang gue kemari mau jemput el,-"

"Kak stop ngomongin yang dulu-dulu." Aretha sebal, dirinya menoleh kearah jendela. Matanya menatap sendu plang jalan Braga yang kini sudah tidak terlihat lagi. Bersamaan dengan itu jemarinya bergerak ke kaca mobil, merasakan sensasi dingin diluar sana. Hujannya makin deras, membuat Aretha semakin merasakan sakit didada.

"Itu artinya Aretha lagi gak mau diganggu sayang."

Tepat sekali, memang hanya Avender yang mengerti Aretha. Bahkan kakak kandungnya sendiri sangatlah tidak peka.

Alena mengerucutkan bibir, namun tak pelak mengangguk juga. "Kita nganter Aretha pulang ke rumah nenek aja dulu ya Van."

Avender mengangguk, sedangkan Aretha tidak mau tau. Juga Delvian yang memilih diam seribu bahasa selama perjalanan.

¤¤¤

"GUE PULANG, LO MATI ARDEN!" Aretha melempar ranselnya ke lantai sedangkan tubuhnya sendiri dilempar ke kasur dengan enak. Tangannya sibuk memencet tombol speaker di iphonenya lalu sambil melepas switernya, Aretha membuka kancing bajunya paling atas. Gerah, bahkan udara dingin Kota Bandung tidak mempan untuk meneduhkan panasnya hati Aretha.

"Marah-marah mulu lo PMS."

Arden, kembarannya itu memang selalu membuat Aretha kesal setengah mati. "Sialan lo emang ya. Udah tau gue benci sama Delvian, pake acara nge-iya-in mamah gue ikut ke Bandung. Maksud lo apasih."

"Maksud gue, biar lo kelarin sekalian urusan lo sama Delvian."

"Gue gak ngerti." Aretha memilih melepas bajunya, meninggalkan singlet yang membentuk body tubuhnya.

"Goblok! Maksud gue, kalau lo masih cinta sama Reza, jangan batalin pertungannya. Tapi kalau emang menurut lo hubungan lo sama Reza udah gak bisa dipertahanin, ya lo bilang ke mamah, kalau lo gak mau dijodohin lagi sama dia."

Aretha diam. Bukan karena dia tidak mengerti maksud Arden. Tapi karena dirinya bingung harus menanggapi bagaimana. Seakan-akan hati Aretha kini sudah terbelah menjadi dua oleh kalimat Arden.

Antara cinta dan benci? Dua kata itu terpaut benang merah yang sangat tipis.

Aretha memejamkan mata, hening. Baik Arden dan Aretha tidak bersuara, sebelum kemudian suara mamanya dari luar pintu memecahkan keheningan.

"Yaudah nanti gue telfon lagi." Hanya itu yang dapat diucapkan Aretha. Dia mematikan sambungan telfon dengan Arden lantas keluar dari kamar.

"Astaga Aretha.." Vanda menelanjangi seluruh tubuh Aretha yang terbuka naas terlihat sangat seksi.

"Apalagi mamah." Aretha mendesah, mamanya itu selalu saja berlebihan.

The Bad Twins [COMPLETE]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang