Dari balik counter dapur apartemen sederhana milikku, mataku tidak pernah lepas barang satu detik pun untuk merekam apa yang sedang dilakukan oleh Hansol di ruang tengah sana. Bersama tumpukan buku-buku bacaan tebal sebagai referensinya untuk mengerjakan proposal penelitian, laki-laki dengan rambut yang selevel warnanya dengan biji jagung itu misuh-misuh, mengumpat pada segala hal yang bisa dia sumpah-serapahi.
Sambil menunggu mesin espressoku menyelesaikan tugasnya, aku berpikir dengan kening yang mengerut begitu dalam. Sebenarnya apa yang mengisi kepala laki-laki itu hingga bisa-bisanya berpikiran untuk mengacau di apartemenku di hari Minggu yang sepagi ini bersama bertumpuk-tumpuk proposal yang harus selesai di Senin pagi.
"Santai saja, sayang."
Sebuah pelukan tiba-tiba yang melingkari perut tak berkain milikku membuatku sadar dari segala lamunanku tentang laki-laki dengan merk Ji Hansol itu. Kecupan seringan kupu-kupu itu bisa aku rasakan pada tiap inchi punggungku yang sedari tadi diterpa angin dari pendingin ruangan yang sudah menyala sepagi ini.
"Jangan menatap Hansol dengan pandangan setajam itu, kau bisa saja melubangi kepala kosongnya jika terus menatapnya seperti itu, John." Nada suara yang selembut dawai itu membuatku sadar dengan keadaan yang sedang terjadi saat ini, di hari ini, pada tempat ini.
Aku membalikkan punggungku untuk dapat melihat dengan jelas si pelaku yang memberi ciuman kupu-kupu pada sepanjang garis tulang belakangku itu. Lalu aku mendapatinya. Tubuh dari sesosok laki-laki yang tidak pernah lebih tinggi dariku dengan senyuman semanis panekuk bertoping madu yang kini berdiri tegap menghadapku dengan penampilan berantakan khas seseorang yang baru saja terbangun dari tidur nyenyaknya. Tapi apa itu? Laki-laki dengan senyuman semanis panekuk bertoping madu itu memakai kemeja hitam yang semalam aku pakai.
Aku mendengar suara lain yang berdehem, yang sekaligus mengganggu acara saling menatap antara aku dan laki-laki dengan senyuman semanis panekuk bertoping madu itu-singkatnya sebut saja laki-laki itu Ten.
"Maaf karena sudah mengganggu kalian, ya, John, Ten. Aku sama sekali tidak tahu kalau saat ini kalian sedang dalam suasana sangat tidak ingin diganggu oleh siapa pun. Termasuk aku, seseorang yang mengemis bantuan untuk proposal penelitiannya." Dari ruang tengah aku dapat melihat Hansol yang sibuk membolak-baik buku referensinya sambil mulutnya asyik berceloteh padaku dan Ten.
"Tapi aku benar-benar membutuhkan bantuan kalian, terutama kau, John. Hanya kau yang lulus dengan nilai yang baik-baik saja di kelas Mr. Ken dan kau harus membantuku untuk mendapatkan nilai yang wajar di semester ini. Aku memaksa omong-omong."
Pada akhir kalimat khotbahnya aku dapat melihat Hansol melemparkan salah satu senyuman terbaik yang dimilikinya padaku. Aku mengenal Hansol lebih dari siapa pun di dunia ini-orang tua dan kakak-kakak brengseknya tidak masuk dalam hitunganku omong-omong.
Senyuman terbaik ini bukan senyuman lebar dan tulus yang biasa dia pamerkan pada orang-orang beruntung di luar sana. Senyuman Hansol yang ini terlihat lebih berdosa. Seperti senyuman seorang jalang penggoda. Terasa sangat menantang hingga alarm tanda bahaya semu di kepalaku mulai naik satu tingkat ke status siaga.
Ten melepaskan pelukannya pada perutku sambil terkekeh mendekati Hansol yang kembali memasang wajah tanpa dosanya. Ten memeluk gemas laki-laki pirang itu hingga wajah Hansol terkurung diantara pundak dan lengannya.
"No need to worry, John pasti akan membantumu menyelesaikan tugas dari dosen sialan itu. Kalau John menolak, dia akan mendapat hukuman dari baby-nya ini. Benarkan, daddy?" Ten berujar sambil terkekeh-kekeh pelan di balik pundak Hansol. Laki-laki pendek itu sepertinya masih betah untuk memeluk tubuh Hansol lebih lama dari ini.
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Things +johnsol
FanfictionSeharusnya Johnny tidak pernah membiarkan laki-laki dengan senyuman berbahaya bernama lengkap Ji Hansol itu masuk ke dalam apartemennya. Tidak ketika dia sedang berdua saja dengan kekasihnya.