Part 1 | Cuplikan Novel

51.7K 1.4K 37
                                    

"Lu kenapa sih, Tif? Tumben-tumbenan diem kayak gini, biasanya ribut minta ampun." Alvin menatap Tiffany dengan pandangan bingung namun yang ditatap hanya diam melamun. "Yakali lo tiba-tiba depresi Cuma karena gak naik kelas? Bukan lo banget tau!" lanjut Alvin dengan terkekeh geli.

Dua minggu yang lalu Tiffany dan Alvin melaksanakan ujian semester genap. Itu artinya ujian tersebut dilaksanakan untuk ketentuan mereka naik ke kelas tiga SMA. Namun dua puluh menit yang lalu Tiffany dan Alvin menerima telepon dari Vita—Bunda Tiffany yang mengambil raport mereka berdua— ia memberitahu bahwa Alvin naik kelas sedangkan Tiffany sebaliknya. Sontak Alvin langsung tertawa dengan lebar ketika mendengar berita tersebut, namun tidak dengan Tiffany yang langsung terdiam lantas berpikir, bagaimana bisa ia sendiri yang tidak naik kelas? Pertanyaan itulah yang sedari tadi sedang ia lamunkan.

"C'mon, Tif. Gue ngeri kalau lo diem mulu kayak gini." Alvin kembali bersuara hingga membuat Tiffany langsung menoleh dan menyorotkan pandangan kesal padanya.

"Bacot banget sih, Al! Orang lagi pusing malah diganggu! Lo pikir aja sendiri kenapa gue diem kayak gini!" Kalau saja bukan tempat umum, mungkin sekarang Tiffany sudah menjambak jambul Alvin sampai botak.

Alvin menyengir, memasang wajah tak bersalah. "Ya, sorry. Jangan lesu gitu dong. Lagian kalau gak naik kelas kan belum tentu juga bikin masa depan lo suram. Belum ada kata terlambat kalau lo mau berusaha untuk memperbaiki semuanya, Tif."

"Enak banget ya ngomongnya, mentang-mentang naik kelas!" sinis Tiffany makin kesal. "Kenapa sih Cuma gue doang yang gak naik kelas?! Gak adil tau gak!"

Alvin mengangkat kedua bahunya lalu membalas santai, "tanyain sono ke kepsek, bukan ke gue."

"Ngelawak lo?!"

"Siapa yang ngelawak? Gue serius tau!"

Tiffany diam, pandangannya kembali ke arah luar kafe, menatapi mobil-mobil yang berlalu lalang. Ia menghela napas pelan.

"Menurut lo Tuhan itu adil gak sih?" pertanyaan itu refleks keluar dari mulut Tiffany. Bukannya ia ingin menyalahkan Tuhan, tapi ia saat ini benar-benar dongkol, kesal, sebal, frustasi, depresi, pokoknya semuanya bercampur aduk menjadi satu. "Gue gak ngerti deh kenapa nasib gue gini amat."

Alvin langsung tergelak. "Pas keadaan lu lagi kayak gini aja baru inget Tuhan. Selama ini kemane aje, bos? Dugem?"

Tiffany langsung mendelik. "Gak usah sok alim deh lu."

"Gue emang alim kok, karena ngikut lo aja gue jadi bejat gini. Tapi jujur aja nih ya, gue selama ini ngikut lo ya karena untuk ngejaga lo biar gak kelewat batas. Kurang baik apa lagi coba gue sama lo."

"Halah, gue mabok lo juga ikut mabok! Itu yang namanya ngejagain?" cibir Tiffany membeberkan fakta.

Alvin menyengir, "kalau itu mah khilaf, bos."

Tiffany memutar bola matanya sebal. "Gue lagi serius, malah diajak main-main. Males ngomong sama lu mah." Ia melipat tangannya di dada. Pikirannya kembali menerawang lalu kembali hanyut dalam lamunan.

Alvin menghela napas pendek, hening sebentar, kini raut wajahnya tampak mulai serius. "Gini ya, Tif, gue kasih penjelasan biar lo ngerti. Lo harusnya sadar diri kenapa bisa gak naik kelas. Lo intropeksi diri lo sendiri, kenapa gue bisa dan lo gak bisa. Sekarang gue mau tanya sama lo, lo pernah ngerasa capek gak sih dengan sikap yang annoying kayak gini?"

Tiffany langsung memandang heran ke Alvin. "Maksudnya?"

Alvin berdecak sebal. "Duh, susah ya ngomong sama orang yang otaknya kosong."

Tiffany langsung protes. "Heh! Ngaca dulu dong baru ngomong! Lagian lu nanya gak jelas. Apaan sih?!"

"Maksud gue gini lho. Lo capek gak sih nakal gak jelas kayak gini? Lo capek gak sih buat masalah mulu di sekolah sampe-sampe guru aja males ngeliat muka lo? Lo capek gak kayak gini terus? Ngelakuin hal yang sama sekali gak ada manfaatnya. Capek gak?"

Bad Girl In PesantrenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang