Tiffany dan Vita kini tampak asik menonton televisi dengan keadaan yang sama-sama diam. Rumah terdengar sepi karena Vito—ayahnya, Bianca dan Angel—kakaknya, dan Tiara—kembarannya sedang tidak ada di rumah alias pergi karena urusan masing-masing dan menyisakan Tiffany dan Vita yang tinggal di rumah berdua. Entah kenapa malam ini Tiffany tidak ada niat untuk keluyuran seperti malam-malam sebelumnya. Tidak ada mood. Lagipula di luar juga sedang hujan, dingin-dingin seperti ini lebih baik menetap di rumah.
Film yang sedang mereka tonton pun berhenti karena jeda iklan. Untuk yang entah keberapa kalinya, Tiffany menghela napas panjang. Ia menatap Bundanya. Sedari tadi bibirnya terasa kelu untuk berbicara. Antara iya dan tidak. Ia bingung harus memulai dari mana.
"Bun.... Aku bakal pindah ke mana?" Akhirnya pertanyaan itu meluncur dengan sukses dari mulut Tiffany.
"Maunya ke mana?" Vita menanya balik, menatap anak bungsunya ini dengan tersenyum. Bukan seperti orang tua yang lain, Vita sama sekali tidak marah kepada Tiffany. Lagian apa yang harus dipermasalahkan? Toh, ini semua sudah terjadi. Tidak ada yang perlu disesalkan. Mungkin ia memang terlalu lembut kepada Tiffany, tapi ia sadar apa yang tengah ia lakukan saat ini. Ia tahu, jika anak ditekan dengan keras, anak tersebut akan semakin melawan dan semakin menjadi-jadi. Walaupun beda alur, ia juga pernah merasa diposisi Tiffany. Ia tidak ingin memaksa anaknya untuk berubah, ia ingin anaknya merubah dirinya sendiri dengan caranya sendiri pula.
Tiffany mengangkat kedua bahunya. "Gak tau." Ia bingung harus menentukan harus kemana dirinya sekarang. Otaknya sudah terlalu lelah untuk berpikir.
"Loh, terus gimana?"
"Aku ngikut apa kata Bunda aja deh." Tiffany sudah pasrah. Terkadang kita harus keluar dari zona nyaman agar mendapatkan pengalaman baru, bukan? Jadi biarlah Bundanya yang menentukan pilihan. Mau kemanapun nantinya, ia sudah siap untuk melangkahkan kakinya ke arah tersebut.
"Yakin? Gak nyesel ya?"
"Iya."
Senyuman Vita kian melebar. "Masih inget sama Ummi Ainun gak? Dia punya pondok pesantren. Selain belajar pelajaran seperti SMA pada umumnya, di sana kamu juga bisa belajar tentang agama, belajar sopan-santun, belajar disiplin, dan lain-lain. Mau, kan?"
Tiffany langsung melotot. "Enggak! Gak mau! Kalau Pesantren, aku gak mau!" serunya langsung.
"Yah, sayangnya kamu udah didaftarin di sana tadi siang," balas Vita santai.
"Ih Bunda mah! Tiffany gak mau! Pokoknya gak mau! Sekali gak mau ya gak mau!" serunya lagi.
"Bunda juga udah bayar biayanya, sayang dong kalau kamunya gak mau. Lagian seru kok di sana. Kamu bakal dapat banyak pelajaran yang selama ini mungkin belum pernah kamu pelajari."
"Gak mau, Bun! Pindahin aku ke mana aja asal jangan pesantren. Aku gak mau tinggal di sana! Ngebayanginnya aja udah serem!" Tiffany bergidik ngeri. Pesantren? Tak pernah sekali pun terlintas dibenaknya kalau ia akan masuk Pesantren. Bukannya benci atau apa, tapi menurutnya, tinggal di Pesantren itu sama aja kayak di penjara. Ngebosenin!
"Apanya coba yang serem dari Pesantren?" Bianca yang baru tiba dan kebetulan mendengar percakapan Vita dan Tiffany pun menyahut lalu ikut duduk di sana.
"Ya serem lah. Gue gak bisa kemana-mana, 24 jam di Pesantren mulu. Bosen tau gak," jawab Tiffany dengan sebal. Tak perlu dibilang juga orang pasti sudah tahu. Ketika mendengar kata pesantren pasti langsung terbayang tinggal di sana dengan peraturan ketat, nyuci baju plus setrika sendiri, kalau ada kecoak terbang pun harus bisa diatasi sendiri, ditambah lagi dengan senioritas yang amat kejam, dan lain-lainnya. Pokoknya menyeramkan deh!
"Lo mau jadi anak durhaka?" Bianca menatap adik bungsunya yang mempunyai sifat keras kepala dengan tatapan kesal. Matanya beralih pada Vita. "Mendingan ancem aja deh Bun. Kalau gak mau masuk Pesantren, usir dari rumah! Tiffany mah kalau gak diancem bakal ngelunjak mulu. Biar dia tahu rasa."
Tiffany langsung mendelik ke arah Bianca, "siapa elu ngatur-ngatur Bunda?! Gak usah ngomporin deh. Gue aja gak ribet ngurusin hidup lo, kenapa lu malah susah-susah mau ngurusin gue?"
"Tuh kan, dinasehatin yang baik malah nyolot. Kalau hidup lo gak mau diurusin siapa-siapa, mendingan lo tinggal di hutan aja deh. Jangankan manusia, semut aja gak bakal ngurusin lo kalau lo tinggal di sana," kesal Bianca. "Mau jadi apa kalau lo kayak gini terus, Tif? Lo mau masa depan lo suram? Lo kira dengan nakal kayak gini bakal bikin lo sukses? Nih ya, senakal-nakalnya gue, Angel dan Tiara, kita bertiga gak pernah gak naik kelas. Gue ngomong kayak gini biar lo mikir!"
Vita sedari tadi hanya menonton anak sulungnya yang sibuk mengocehi anak bungsunya. Bianca yang biasanya berlaku bodo amat dengan sikap Tiffany pun kini berusaha menasehati walaupun dengan raut wajah geram. Dan itu terlihat sangat lucu di mata Vita.
Tiffany memanyunkan bibirnya. Ia akui kalau ia kalah telak. "Pokoknya Tiffany gak mau masuk pesantren! Titik gak pake koma!" setelah itu ia langsung berdiri dan berjalan menuju kamarnya, meninggalkan Vita dan Bianca yang kini saling tatap.
"Dia itu harus dipaksa Bun, jangan dikasih enak mulu," kata Bianca masih kesal.
"Tenang aja, kamu jangan emosi gitu," balas Vita dengan kalem. "Orang yang keras kepala itu gak bisa dipaksa, dia harus dilembutin supaya ngerti. Bunda udah atur semuanya kok," lanjutnya dengan mengedipkan mata.
[.]
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Girl In Pesantren
Ficção Adolescente[TELAH DITERBITKAN] Takdir benar-benar tidak bisa ditebak. Ia mampu merubah kehidupan seseorang dengan waktu sesingkat mungkin. Siapa sangka Tiffany yang bandel dan keras kepala ini akhirnya masuk ke dalam pesantren? Ingin rasanya ia menertawai...