Besoknya, Alvin dan Tiffany kembali bertemu di kafe yang sama dan juga di tempat duduk yang sama karena itu sudah menjadi 'tempat' mereka berdua. Bagaimana tidak? Setiap hari tidak pernah absen ke kafe ini (kecuali kalau tutup) sampai-sampai pemilik kafe mengenal mereka dan tak jarang dikasih diskon ataupun cemilan gratis.
Keduanya kini tampak sibuk dengan dunia masing-masing. Alvin sibuk dengan handphone sedangkan Tiffany sibuk melamun dengan raut wajah masam. Hatinya masih dongkol, harusnya liburan semester 2 ini ia pakai untuk senang-senang, tapi apalah daya, yang ada liburan kali ini benar-benar terasa menyebalkan untuknya.
"Lo bakal pindah ke mana?" tanya Alvin yang sebenarnya sudah tahu semuanya tetap berpura-pura tidak tahu menahu agar rencana berjalan dengan lancar.
Tiffany yang tersadar dari lamunannya pun menatap ke arah Alvin, "kayaknya gue bakal dipindahin Bunda ke Pesantren deh," jawabnya agak ragu. Tadi malam ia sama sekali tidak tidur hanya karena memikirkan hal tersebut. Hatinya pun terus berkecamuk.
Alvin hanya mengangguk-anggukan kepalanya, "Oh, gitu—" Mata Alvin langsung melotot ketika sadar akan ucapan Tiffany barusan. "WAIT! APA KATA LO? PESANTREN?!"
Tiffany langsung melotot kesal ke arah Alvin lalu memperhatikan sekitarnya, memastikan bahwa tak ada satupun orang yang mendengar perkataan Alvin barusan. "Iya! Jangan kenceng-kenceng dong! Ntar kalo ada yang kenal gue disini terus tau kalo gue mau masuk Pesantren, malu dong gue." Apa jadinya kalau teman-temannya tahu kalau ia akan masuk pesantren? Yang ada mereka bakalan ngakak sejadi-jadinya lalu menatapnya dengan tatapan mengejek. Benar-benar memalukan.
"Mampus dah lu, di sana pasti sering baca Al-Qur'an. Shalat aja jarang apalagi baca Al-Qur'an!" Alvin langsung tertawa sumbang, aktingnya benar-benar bagus. Sebenarnya ia tak rela melihat sepupunya menderita seperti ini, tapi mau bagaimana lagi? Jika semakin dilepas ia akan semakin menjadi.
Tiffany langsung memasang raut wajah memelas, "Alvin.... Ayo dong kita sama-sama tinggal di Pesantren. Gue kan gak bisa jauh jauh dari lo. Kalo misalnya gue kangen, gimana?"
"Ya tinggal video call. Payah amat. Gue tau kok kalo gue ngangenin," kata Alvin dengan memasang wajah sok ganteng miliknya.
"Ih lu mah. Ayolah, Al. Mau yaa? Yaaa? Please...." Rayu Tiffany lagi. "Kalau lo ikut, kita ntar nge-vlog di pesantren dan kita bisa jadi sepupu goals lho! Lo bakal terkenal, bakal dapet endorse, terus penghasilan lo bakal tiga puluh dua juta dalam dua hari, fans lo pun ada dimana-mana, dan yang paling penting nih, lo gak perlu beli panel followers instagram lagi karena pasti fans-fans lo pada follow lo! Ayolah, Al! Mau yaa? Yaaa?" rengek Tiffany dengan memohon.
Alvin menggeleng masih tetap pada pendiriannya. "Gak mau."
"Ayolah—"
"Gak, gue tetep gak mau," potong Alvin langsung. "Lagian lo gak bosen apa dari TK sama gue mulu? Gue aja eneg, masa lo enggak? Ayolah, belajar mandiri. Jangan apa-apa selalu sama gue, Tif. Bukannya gue jahat, tapi lo itu harus belajar untuk berdiri sendiri karena orang lain belum tentu selalu ada untuk lo."
Tiffany menghela napas pelan. Tubuhnya kini terasa lemas. Matanya pun berkaca-kaca. Hancur sudah harapannya. Pikirannya semakin kacau. Sebisa mungkin ia menahan agar air matanya tak menetes. Hebat, hanya karena satu masalah, hidupnya kini runyam seketika. Takdir dengan kejam merubah kehidupannya 180 derajat. Masalah pun semakin menambah karena Alvin yang sama sekali tidak bisa diandalkan. Semua terasa menyebalkan!
[.]
KAMU SEDANG MEMBACA
Bad Girl In Pesantren
Fiksi Remaja[TELAH DITERBITKAN] Takdir benar-benar tidak bisa ditebak. Ia mampu merubah kehidupan seseorang dengan waktu sesingkat mungkin. Siapa sangka Tiffany yang bandel dan keras kepala ini akhirnya masuk ke dalam pesantren? Ingin rasanya ia menertawai...