05. bunga tulip merah

567 53 3
                                    

Pagi hari ini tidak seperti biasa. Dan untuk pertama kalinya selama 1 tahun ia merutuki kesialannya karena membenci 3 hal di dalam hidupnya.

1. Ia lupa menyetel alarm pada handphonenya sehingga membuatnya hampir kesiangan.

2. Dia lupa melicin pakaian yang akan dia kenakan pagi ini. Alhasil, dia harus mencari baju yang lain.

3. Seseorang mengirimkan tulip merah untuknya tanpa nama.

"Siapa yang mengirimnya?" tanyanya kepada salah satu pegawainya. Sang karyawan yang memang benar-benar tidak mengetahui hanya bisa menjawab seadanya. "Lain kali, jika pengirim barang tidak jelas, jangan asal terima." Aluna membawa masuk sebuket tulip merah itu ke dalam ruang kerjanya. Merah. Dia sangat menyukai warna merah. Dan Ardan, laki-laki itu sangat menyukai warna putih. Ah.. lagi-lagi dia teringat Ardan. Haruskah hidupnya dibayang-bayangi sosok tersebut. Lalu, mungkinkah si pengirim bunga ini adalah Ardan?

Akhirnya, setelah semalaman dia begadang memikirkan keputusan tentang acara reuni yang tinggal menghitung hari itu, ia pun memilih untuk ikut. Yah, dia harus ikut dan bertemu dengan Ardan. Ia harus menyelesaikan semuanya sampai tuntas. Namun, dia juga tidak bisa melupakan segala kemungkinan buruk setelahnya. Ardan yang akan benar-benar pergi? Ataukah Ardan yang akan mengukir kisah bersama Aluna?

Ia mengambil ponsel dari dalam tas. Digesernya layar ponsel itu untuk mencari kontak Edvan. Tanpa basa-basi dia mengetikan pesan singkat yang dikirim kepada laki-laki itu.

'Aku ikut.'

Pesan terkirim.

Ia menaruh asal ponsel miliknya ke atas meja. Kemudian, matanya tertarik melihat selembar kertas A4 di atas tumpukan buku-buku yang biasa dia baca.

Wah.. rasanya dia gemas ingin mencoret-coret kertas lagi. Mengotori putihnya kertas dengan goresan kata yang mengisi otaknya. Selama ini yang menjadi inspirasinya hanyalah satu sosok. Laki-laki yang masih menggantungnya. Ralat, bukan menggantung, melainkan masih sangat dia harapkan. Masih menjadi pusat dunianya. Sayangnya, pusat itu justru terus berlari menjauh tanpa mau melihatnya sedikit saja. Sakit. Memang. Tidak perlu ditanya seberapa sakitnya. Semua perempuan pasti tahu bagaimana rasanya ketika mencintai seseorang yang justru sibuk memperjuangkan orang lain.

Luar biasa. Ibarat anak zaman sekarang sih, Sakit, tapi tidak berdarah.

Mendung Bukan Berarti HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang