Usai

2 0 0
                                    

Ini adalah sepenggal cerita yang sedang aku coba rangkai dengan segenap ingatan yang sering kali tersapu angin dengan tiba-tiba. Aku sengaja memencilkan diri agar ingatanku tidak selalu tersapu angin setiap kali akan mulai merangkai cerita. Dan saat ini pun aku berada di sebuah tempat yang tidak pernah aku sebutkan jika orang-orang menanyakanku "Yud, mau kemana?". Aku hanya ingin sendirian saja.

Dia

Dia, adalah salah satu perempuan cerdas, bahkan lebih cerdas dibanding perempuan-perempuan yang pernah aku kenal lebih dekat sebelumnya. Aku belum pernah berjumpa dengan perempuan yang begitu ambisius dalam mengejar nilai A di kampus. Atau mengejar nilai sepuluh saat di bangku SD, seratus di bangku MTs dan SMK. Tidak pernah. Belum pernah.

Kegiatannya, menurutku biasa saja. Tidak ada yang istimewa selain suka pergi kuliner bersama rekan-rekannya. Baik itu rekan kuliah, atau rekan semasa dia sekolah dulu. Biasa saja. Dia bekerja, sama halnya sepertiku, dengan jam kerja yang sama pula, tapi berbeda bila dalam hal gaji. Kita tidak satu perusahaan dan tentu tidak satu divisi juga. Dia menempuh perkuliahan kelas karyawan sama sepertiku, menerima tugas dari dosen yang sama, teman-teman satu kelas yang sama, masuk kuliah di jam yang sama, pulang di jam yang sama juga, hanya arah pulang saja yang berbeda. Aku, juga dia melakukan hal yang normalnya orang lakukan.

Di sisi lain, aku lihat ada yang berbeda dan jelas berbeda dengan teman sekelasku. Ya, dia ambisius dalam mengejar nilai. Pola pikirku dan dia jelas berbeda. Mungkin jauh berbeda.

***

Aku masih di tempat yang sama dan masih menyembunyikan lokasinya. Dan baru saja aku menulis separuh halaman, ponselku menyala. Lampu notifikasinya berkedip hijau.

"Le, lagi di rumah apa enggak?"

Begitulah isi pesan WA pamanku. Kusumo.

Perlahan angin berhembus dan perlahan juga menabrak moodku untuk menyendiri. Aku coba tahan dan tetap tenang. "Moga-moga enggak penting-penting amat" pikirku. "Oke, coba kita liat."

"mengetik..." begitu yang ku baca dalam aplikasi tersebut.

"Jemput mbakmu di stasiun sekarang. Setengah jam lagi sampe."

Aku hanya menatap ponselku. Dan akhirnya moodku runtuh juga.

Kutarik nafas dalam, serta mengeluarkan perlahan dengan harapan tensiku turun, juga emosiku bisa terkontrol. Berat memang untuk membalas pesan tersebut. Jempolku serasa berat, namun apa daya merekalah yang kini aku punya meski rumahku –peninggalan orang tuaku– cukup jauh bila ditempuh berjalan kaki dengan rumah pamanku dan hanya aku yang bisa menunggangi motor. Pamanku tidak. Dia trauma.

"Iya pak de. Yudi jemput sekarang."

Segera aku berkemas. Memasukkan komputer jinjing kedalam ranselku kembali, dan lekas pergi. Tidak lupa meghabiskan kopi yang aku pesan.

"Berapa, teh?" sembari merogoh saku. "Kopi satu."

"Lima ribu, A."

Aku lekas pergi.

Mbakku sudah satu tahun tinggal di Semarang, tepatnya selepas ia lulus dari kuliahnya di jurusan farmasi. Dia anak semata wayang paman dan bibiku dan kabarnya tahun ini, dia akan dilamar oleh seseorang yang telah berta'aruf dengannya setelah tiga bulan lamanya. Aku tahu mbakku. Sebagai perempuan dan anak gadis satu-satunya, dia adalah sosok yang tegas dan teguh pada pendirian. Tak jarang pula aku sering disindir dan kena marah karena ketidak tegasanku sebagai lelaki.

"Kamu tuh laki-laki," ucapnya "tegas dong!"

"Jadi, selama ini aku kurang tegas?" tanyaku iseng.

You've reached the end of published parts.

⏰ Last updated: Sep 28, 2017 ⏰

Add this story to your Library to get notified about new parts!

UsaiWhere stories live. Discover now