Seperti rutinitas gue biasanya, gue menjemput Elvan di sekolah sepulang kerja dan kebetulan gue diizinkan pulang lebih awal setelah rapat dengan investor. Gue dalam suasana hati yang cukup baik karena atasan mempromosikan gue untuk naik jabatan.
Masih dua jam sebelum Elvan pulang tapi gue memilih menunggu dia di sekolah, baru beberapa langkah gue rasanya ingin mengulurkan niat gue untuk ke taman sekolahnya saat melihat orang yang mengganggu pikiran gue beberapa hari ini. Sayang, sebelum gue berhasil meloloskan diri dia sudah melihat gue.
"Dil."
Gue menarik nafas panjang sebelum akhirnya membalikkan badan sembari tersenyum, "Bisa ngomong bentar?" gue menatap dia sebentar lalu duduk di bangku taman tepat di sampingnya.
"Hm, ngomong aja."
"Ga di sini." dia melihat jam tangannya, "masih ada dua jam sebelum Elvan pulang, kita ke caffe depan." Arga menarik gue yang hanya pasrah mengikuti langkahnya.
Tangan Arga masih sama hangatnya dengan dulu, bedanya lengannya sekarang lebih kekar sepertinya dia sering olahraga. Gue menggeleng menghapus pikiran gue yang melayang kemana-mana, lebih baik gue memikirkan apa yang ingin dibicarakan Arga.
Gue dan Arga sama-sama terhayut dalam hening dan pikiran sendiri sampai pesanan kami diantarkan, Arga tak hentinya menatap gue membuat gue merasa sedikit tidak nyaman.
"Apa kabar?"
Alis gue terangkat mendengar pertanyaan dia yang gue anggap aneh, tiga hari yang lalu dia baru saja menemani Elvan ke acara sekolah. Dia bertemu gue saat menjemput dan mengantar Elvan ke rumah.
Gue tertawa kecil, "Kamu baru ketemu aku tiga hari yang lalu Ga."
"Kita ketemu tapi ga pernah ngobrol berdua kan? Aku mau tau kabar kamu selama 5 tahun ini." katanya sambil tersenyum.
"I'm fine." balas gue tersenyum.
Gue dapat mendengar helaan nafas panjang dari Arga, sepertinya dia mengharapkan jawaban lebih atas pertanyaannya tadi.
"It's not the answer I want."
"Kamu mau tau apa?"
"Semua, gimana kamu bisa di sini sampai ada Elvan sekarang." Arga menatap gue dalam dan serius, gue sepertinya tidak bisa mengelak lagi sekarang. Mungkin benar kata Raka, Arga berhak tau karena Elvan juga anaknya tapi apakan gue akan siap dengan apa yang akan terjadi setelah ini menjadi pertimbangan gue untuk kesekian kalinya.
"Aku udah lama ngerencanain kerja di kantor yang sekarang, jauh sebelum kita kenal."
Arga tampak tidak percaya dengan perkataan gue persisi seperti tebakan. "Percaya atau ngga, aku memang bukan pergi karena kamu tapi buat mimpi aku sejak SMA. Yah soal pergi setelah itu bukan disengaja, cuma kebetulan. Waktu kita ketenu terakhir aku menang harus berangkat seminggu setelahnya." kali ini Arga manut-manut, sepertinya dia percaya karena gue memang tidak berbohong sama sekali. Gue memang patah hati, tapi bukan berarti gue akan lari hanya karena hal itu.
"Kamu gimana? Udah resmi sama Windy?"
Sakit memang, dada gue terasa perih dan paru-parubgur terasa terbakar saat gue menghirup oksigen. Bukannya lega gue malah semakin sakit tapi gue masih tersenyum menunggu tanggapan Arga yang tampak kurang nyaman dengan pertanyaan gue, dia terus membasahi bibirnya seperti orang gelisah.
"Um...itu..."
"Belum ya?" tebak gue.
"Belum."
Gue tersenyum lagi, belum berarti akan. Dengan mendengar jawabannya saja gue sudah tau mereka masih bersama, mungkin gue memang tidak seharusnya berpikir memberi tau dia tentang Elvan itu cuma mempersulit keadaan gue dan gue akan jadi pihak yang salah lagi untuk kesekian kali.
"Belum berarti akan..." ujar gue sambil tersenyum menggoda, "Kapan nikahannya?" gue yakin gue masih bisa bertahan dengan posisi gue saat ini, bahkan gue sudah melewati saat yang lebih sulit. Tidak akan sulit melepaskan Arga sekali lagi. Ya, tidak akan sulit.
Arga menatap gue tidak enak disertai senyum kakunya, "Mungkin hm... tahun depan." jawabnya ragu.
"Jangan ragu gitu nanti diambil orang loh hehe."
Bodoh banget lo Dila, padahal lo dari tadi pengen nangis tapi kenapa gue malah ketawa garing seolah tidak pernah terjadi apapun antara gue dan Arga.
"Can we back to the topic?"
"Loh? Ini masih topik yang sama, nanya-nanya kabar kan?"
Dia menggeleng lalu menghembuskan nafas panjang, "Elvan, aku mau kita bahas dia." gue termanggu, jujur tidak tau apa yang harus gue jawab sekarang. Rasanya tidak mungkin merusak kebahagiaan dia untuk kesekian kalinya dengan keberadaan gue, gue dapat melihat dengan jelas raut bahagianya saat menjawab pertanyaan gue tentang pernikaannya tadi. Gue ingin Arga bahagia walaupun itu artinya harus tanpa gue.
"Elvan Adhitama Daniyal, anak kandung gue. Umurnya masih empat tahun lebih dikit, dia lahir dan besar di sini sama gue, Raka dan mas Dion."
"Anak kandung?" gue mangangguk pasti.
"Aku mau nanya, dan aku harap kamu jujur." pintanya yang tidak gue iyakan karena gue takut pertanyaan yang dilontarkan Arga tidak bisa gue katakan.
"Siapa ayah kandungnya?"
Tepat, pertanyaan yang tidak bisa dan mungkin tidak akan pernah gue jawab. Gue tidak akan membuat dia tinggal jika tau semuanya, gue bukan orang yang akan memaksa seseorang yang ingin pergi untuk tinggal. Apa gunanya jika raganya bersama gue sedang hatinya tidak.
"I wont tell you, sorry." jawab gue akhirnya.
"Apa ayahnya-"
"Let's not talk about this, it's very sensitife for me." potong gue cepat, lebih baik gue tidak membiarkan dia bertanya lebih lanjut jika tidak ingin kelepasan. "Bentar lagi Elvan keluar, lain kali aja kita ngobrol lagi."
Gue segera berdiri diikuti Arga yang juga mengikuti gue sampai ke sekolah dan menunggu Elvan.
"Momy...!!!" pekik Elvan berlari ke arah gue dan gue sambut dengan pelukan erat lalu mencium pipinya.
"Mom aja nih? Dady dicuekin?"
Elvan langsung mengadah menatap Arga yang berdiri di samping gue, matanya membulat senang dengan senyum lebar Elvan langsung berhambur kepelukan Arga.
"Dady! I miss you!" ucapnya sambil menenggelamkan wajahnya di bahu Arga.
"I miss you too son."
Anak gue sibuk mengomeli Arga yang tidak datang ke sekolahnya tiga hari ini, sedang Arga berusaha membujuknya dan mengatakan dia sedang sangat sibuk dengan pekerjaannya yang tidak bisa ditinggal. Sayangnya Elvan tidak akan menerima alasan Arga secepat itu. Elvan have power to control everythink.
Jangan tanya gimana reaksi gue. Gue hanya bisa tersenyum miris melihat interaksi Elvan dan Arga, seandainya dia tau Elvan memang anaknya kira-kira akan seperti apa tanggapannya nanti? Apa dia akan menerima Elvan atau malah menolaknya? Lebih baik gue lupakan pikiran gue, biarin Elvan merasakan bagaimana dekat dengan ayahnya. Gue akan memberi tau dia jika dia sudah cukup besar dan dewasa untuk mengerti keadaan gue. Elvan juga korban dalam hidup gue, dia korban dari diri gue yang rusak. Gue harap dia tidak akan membenci gue nantinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Where is My Happy Ending?
General FictionWhen broke girl looking for happiness. Story in Bahasa Warning! * Non Baku * Harsh Words * Mature Content * Part 12 silahkan DM, tapi saya tidak meladeni siders