Bagian 21. Akhirnya

7.4K 767 211
                                    

(PS. The video in the tumbnail is the reason why I love Pluem and choose him to be Seno. He's damn hot, baby!!)

***

Aku bukan anak yang suka marah atau ngambek dalam rentang waktu yang cukup lama. Aku sendiri terkejut aku bisa semarah ini pada Mama dan Papa dan sudah menginjak satu minggu. Efek cintaku pada Jatayu ternyata sedalam itu. Aku dan Edward membatalkan niat kami untuk men-sabotase mobil. Tidak ada gunanya juga, karena Pak Karyo bersedia mengantarkan kami sukarela. Asal, kami mau menelusuri kebun teh ini barang sejenak. Pak Edi berjalan di depan bersama Pak Karyo, aku dan Edward mengikuti di belakang. Kebun teh ini memiliki jalan setapak, berupa bebatuan yang memisahkan tanaman teh yang dikelompokkan dalam beberapa bagian. Masing-masing dibatasi oleh pagar yang terbuat dari kayu. Aku melihat beberapa buruh sedang melakukan pemangkasan pada daun teh. Pak Edi bilang, pemangkasan sebaiknya dilakukan saat musim hujan. Karena saat musim kemarau, tanaman teh memerlukan banyak daun untuk melindungi diri dari sinar matahari yang berlebih.

"Saya tidak menyangka lho, cucu Ndoro Putri mau langsung main ke sini." Ujar Pak Edi. Kami berempat tengah duduk-duduk manis di dalam gazebo, di puncak perkebunan. Dari sini, kami bisa melihat hampir semua tanaman teh di perkebunan ini. "Orang kota kan biasanya ngga mau becek-becek, Den."

Aku tertawa riang. "Pak Edi terlalu banyak nonton sinetron."

"Iya ya?"

Edward masih sibuk berfoto, beberapa kali selfie. Dua kali dia meminta bantuanku dan melepas bajunya. Iya, dia pamer badan lagi. Shirtless di kebun teh, kata Edward dapat artisty-nya. Yang mana aku masih tidak tahu, dimana letak seninya. "Jadi setelah ini, kita bakal ketemu pacar lo?" Tanya Edward. Sudah rampung selfie dia, sedang memilih-milih foto mana yang akan dia upload ke instagram. Aku jamin, pasti yang shirtless. "Cowok atau cewek sih?"

Aku berjengit. Untung Pak Edi sedang membawa Pak Karyo mengelilingi jembatan kayu yang dibuat di atas sungai kecil, penghubung dengan perkebunan satunya lagi. Jadi hanya ada aku dan Edward sekarang. "Kalau cowok?" Tanyaku kembali. Iseng ingin mendengar pendapat Edward.

"Asal nggak ngondek kayak Kevin, nggak papa." He? "Kalau pacar lo ngondek kan mending lo sama cewek tulen aja sekalian." Ooh. Agaknya Edward ini ngondek-phobia. "Sen?"

"Ya?"

"Lo sudah ada rencana mau kuliah dimana? Kita kuliah bareng yuk! Jogja kek! Jakarta kek! Udah males gue tinggal bareng Kevin."

Aku menjitak kepala Edward. "Dia kembaran lo!"

"Ngerti gue. Tapi—" Edward diam sejenak. Mungkin sedang mencari kata yang tepat agar tidak terlalu kasar. "Gue kadang nggak tahan kalau teman-teman Kevin main ke rumah. Parah banget, Bro! Geli gue digodain mereka. Merinding!" Aku bisa membayangkannya. Walaupun Edward dan Kevin kembar, mereka berbeda. Edward memiliki tubuh yang berisi, gagah, dan ya, karena dia straight —katanya—, dia manly. Kevin, well, euum, kalian pernah lihat model-model Victoria Secret? Ya, Kevin bisa dibilang sekurus mereka. Fashionable, tapi aneh. Rambut kevin sedikit lebih panjang dari rambut Edward. Kalau sudah memakai make up, Kevin cantik. Manis. Tapi tetap sisi lakinya terlihat jelas. Aku pernah bilang kan, Edward dan Kevin memiliki tulang bagus.

"Kalau gue gay juga, sama seperti Kevin?"

Edward meraba-raba pipiku, lalu menepuk-nepuknya pelan. "Nggak papa. Lo nggak ngondek." Edward menatapku curiga. "Lo nggak suka dandan, kan?"

"Sialan!"

"Nah itu!" Edward menjetikkan jarinya. "Gue nggak ada masalah sama gay, asal penampilan dan kelakuannya masih seperti laki-laki pada umumnya." Aku mengangguk. Berarti tidak akan ada masalah kalau aku memperkenalkan Edward pada Jatayu.

Erlangga di Bawah Kaki Sumbing (TamaT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang