06. Persiapan

513 53 1
                                    

Tinggal menunggu satu hari. Besok dia akan pergi mengikuti acara reuni, yakni menginap satu malam pada salah satu Villa yang terdapat di Bogor.

Aluna mengeluarkan tas ransel berwarna merah miliknya yang lumayan cukup besar dari atas lemari. Cukup untuk membawa beberapa kebutuhannya. Lalu, ia mengecek satu-satu barang yang akan dia bawa. Jujur dia tidak tahu apa saja yang harus dia bawa. Pasalnya, dia tidak pernah mengikuti acara seperti ini. Selama sekolah dulu, bahkan dia tidak pernah satu kali pun mengikuti ekstrakulikuler yang diadakan sekolah.

1. Sweater.
2. Sarung tangan.
3. Makanan ringan.
4. Mie cup.
5. Lotion anti nyamuk.

Drt..drt...

Saat dia tengah sibuk mengecek satu persatu barang-barang yang akan dibawa besok, getaran ponsel di atas ranjang mengalihkan fokusnya.

Edvan :  jangan lupa mantel dan lotion anti nyamuk.

Aluna tersenyum, membalas pesan itu dengan segera.

Aluna : siap boss! 👍

Ia tidak menyadari sejak kapan Edvan diam-diam memberikan perhatian kepadanya. Dari hal-hal kecil, sampai segala kebiasaan buruk yang sering kali membahayakan dirinya sendiri, Edvan hampir selalu mengingatkannya. Apalagi otaknya yang memang sangat mudah lupa. Kecuali satu hal. Satu hal yang begitu sulit dilupakan, terlalu sering diingat, dan mudah membuat hujan di matanya. Seharusnya itu semua menjadi tugas Ardan.

"Mengapa bukan kamu saja?"

Aluna membanting tubuhnya ke atas ranjang, pikirannya memikirkan rencana-rencana yang akan dia lakukan ketika bertemu kembali dengan Ardan besok malam. Apakah dia perlu membuat daftar pertanyaan pada buku catatan?

"Bodoh." Aluna memukuli kepalanya sendiri. Ia tidak akan mungkin bertanya layaknya seorang reporter acara. Yakinkah dia mampu? Mengingat dulu saja, dia langsung tersenyum miris.

Terakhir kali, apa yang dia lakukan bersama Ardan?

Menatap dalam diam dengan jarak yang terlampau jauh.

Dia bangkit, membuka album kelulusan. Sayangnya, kala itu dia mengingat jelas kalau Ardan memilih pulang dan tidak ikut berfoto bersama. Padahal dia sangat berharap di hari itu dia bisa mengukir kenangan dengan foto berdua untuk terakhir kalinya sebelum mereka benar-benar berpisah, mencari pekerjaan dan kuliah di tempat berbeda.

Ardan seakan sengaja tidak memberikan sedikit pun identitasnya. Tidak ada nomor telephone, hanya ada nama dan alamat rumahnya. Itu pun dulu, sebelum Ardan dan keluarganya pindah rumah.

Satu-satunya yang harus dia ingat adalah meminta maaf. Meski dia sendiri tidak tahu untuk apa? Karena, seharusnya Ardan lah yang meminta maaf. Bukan dia.

Mendung Bukan Berarti HujanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang