Tongkat Buat Mbah Kung

44 1 0
                                    

Aku Marissa, ini kisah pertamaku bersama Papih saat merencanakan perjalanan mencari tongkat teken buat Mbah Kung. Simak juga kelanjutan kisah ini di "Kejutan dari Mbah Kung" ya...

*****

"Ichaaaiii..." suara Mamih menggelegar.

Tahu banget deh kalau sudah bernada begitu, berarti waktu Subuh hampir habis. Tapi selimut ini enak banget, sayang rasanya kalau buru-buru dihempaskan. Apalagi semalam turun hujan dan aku baru merem menjelang pukul dua. Deadline semalam benar-benar bikin mati kutu.

"Chai!" tiba-tiba sesuatu mengguncang bahuku. Kubuka mata dengan malas, Mamih tegap berdiri di hadapanku dengan cepol rambut yang sedikit berantakan.

Aku menarik punggungku, melemaskan otot-ototnya. Pura-pura tersenyum dan mengangkat selimut agar Mamih segera berlalu. Tapi Mamih masih juga tegap di sana. Rasanya dia pun membawa sesuatu di tangan kanannya.

Aku duduk sambil mengucek mata. "Jam berapa sih, Mih?" tanyaku cuek.

Mamih menyodorkan jam weker ke wajahku. Pukul lima lewat sepuluh menit. Buset, ini sih bukan hampir lewat lagi, waktu Subuhnya sudah kelar. Secepat kilat aku ke kamar mandi, pipis, gosok gigi, merapikan diri, pakai maskara. Ah, bukan, aku cuma mau Subuhan saja kok.

Mamih merapikan selimutku sambil mungkin merapal doa-doa supaya aku tak berani kembali ke baliknya lagi. Ternyata sesuatu yang  ia pegang di tangan kanannya adalah kemoceng. Aneh sekali, untuk apa Mamih membangunkan anak semata wayangnya dengan sebuah kemoceng? Dianggapnya aku lalat yang mengganggu dari sisi telinga sampai depan hidung, hingga butuh sentuhan kemoceng?

"Habis ini bantuin Mamih gulung-gulung sosis solo, Mbah Kung ada reuni hari ini, request-nya Timlo." panjang lebar Mamih menjelaskan sambil terus merapikan tempat tidurku.

Aku dan Mamih hanya terpaut dua puluh dua tahun. Di usianya yang sudah kepala empat, Mamih masih sangat energik. Paling sayang sama Mbah Kung, satu-satunya orang tua yang ia miliki sekarang. Menghabiskan banyak waktu untuk berkreasi di dapur, sesuai motto hidupnya, cinta kasih dimulai dari perut. Maka tak heran, Papih selalu merindukan meja makan dengan berbagai kreasi Mamih.

Sesungguhnya aku bukan anak tunggal. Saat usiaku tiga tahun, Mamih hamil anak kedua tapi keguguran. Dua kali berturut-turut setelahnya, Mamih keguguran pula hingga sekarang akulah satu-satunya anak Papih dan Mamih. Sejak setahun lalu Papih memutuskan untuk mendekat ke kampung halaman, tinggal di Semarang dengan tetap memonitor bisnis di Jakarta sekaligus mengembangkannya di sini.

Aku Marissa Harumi Aryadi, baru kuliah semester lima. Mamih memanggilku dengan sebutan Ichai. Sedang Papih lebih aneh lagi, bagaimana mungkin anak yang dia buatkan nama dengan menyembelih seekor kambing, dipanggilnya dengan Merica? Untung ada Mbah Kung, lelaki tua yang tetap memesona di usia senja, memanggilku dengan panggilan sayang, Nduk, seperti orang Jawa kebanyakan.

"Ichaaaiii..." kembali suara Mamih menggelegar. Segitu tidak sabarnya Mamih menungguku.

Segera ku menuju dapur. Tak bisa kupercaya, betapa berantakannya dapur Mamih. Mbak Asih, asisten Mamih yang biasanya baru datang pukul delapan, pagi ini hadir mendahului matahari terbit.

"Buset, Mih. Banyak amat? Emang teman Mbah Kung berapa?" tanyaku.

"Sepuluh apa dua puluh, gitu." jawab Mamih cuek.

"Kalau ini sih bisa buat sekampung. Banyak banget ini Mih!" seruku sedikit protes

"Ndak papa, Nduk, nanti kan bisa buat oleh-oleh keluarganya." Mbah Kung tiba-tiba muncul, ikut nimbrung menanggapi protesku.

Mbah Kung memang tinggal bersama kami sejak Mbah Ti meninggal. Seingatku waktu itu aku kelas lima. Usianya tujuh puluh tujuh tahun ini tapi ingatannya masih sangat tajam. Tak ada satu pun cerita di masa lalu yang ia lupakan. Mbah Kung sangat sehat, hanya saja karena faktor usia, sekarang kalau jalan jauh mudah lelah. Meskipun pendengarannya baik, kadang-kadang koordinasi antara otak dan pengucapan kurang kompak.

Seribu Bangau KertasWhere stories live. Discover now