Ajari Aku Cara Bersyukur Ibu; Part Dua

59 7 3
                                    

"Apa sajalah, Mak. Dimulai dari Mei yang ditinggal orangtua, Semil yang ayahnya jarang pulang, Ina juga, semua-semua dibicarakan." Mendengar jawabanku Kak Jo yang duduk di dekatku segera menyikut. Ini di luar rencana kami. Sebelumnya kami telah sepakat mencari tahu kebenaran dari Mamak tentang keluarga.

Aku memandang wajah Mamak, menunggu balasan. Mamak mengembuskan napas pendek. Seulas senyum menghias di paras baya Mamak. Tapi tangan dan matanya tidak beralih dari kain yang masih disulamnya.

"Dan keluarga kita, Mak. Itu malahan yang paling sering Johan dengarkan." Kak Jo mengambil alih. Lengannya menyikut tanganku lagi.

"Aduh sakit, Kak," erangku pelan. Mamak beralih memandang kami. Mengembuskan napas lebih panjang. Tangannya pun telah sempurna berhenti.

"Memangnya keluarga kita kenapa, Johan? Pulai? Keluarga kita baik-baik saja ... juga keluarga Mei, Semil atau Ina. Tidak semes--"

"Tapi, Mak, kalau tidak ada yang salah kenapa terus dibicarakan? Seolah kami ini berbeda," suara Kak Jo meninggi.

Alis Mamak ikut-ikut meninggi. Membuang napas berkali-kali. Kami berdua menunggu jawaban, tapi setelah sekian menit cemas menanti, jawaban itu tak pernah muncul. Mamakku hanya diam.

"Ini gara-gara Kak Jo sih, rencananya jadi gagal." Aku ganti menyikut lengan Kak Johan.
Matanya melotot, "Enak saja, bukan karenaku."

"Kalau bukan Kak Johan siapa lagi?"

"Ya, kamulah." Sekarang Kak Johan mencoret buku catatanku dengan pensilnya.

"Ih, apaan sih, Kak, main coret-coretan. Jadi kotor nih." Aku menghapus coretan yang membekas. Susah payah aku menghapusnya. Sekuat tenaga menggosok tetap saja berbekas, tidak bisa kembali seperti semula.

"Hih, awas saja besok akan kubalas." Aku berbisik sangat pelan. Tanganku terus menggosok kertas dengan karet gelang. Kami memang tidak memakai penghapus dari karet persegi warna-warni. Kami tak sanggup membelinya. Karet gelang diikatkan diujung pensil dengan sedikit modifikasi, maka jadilah pensil sekaligus penghapus.

"Hentikan, Pulai, nanti buku kau bisa robek." Mamak melangkah dari dipan dan menyentuh tanganku. "Tidak akan bisa, satu-satunya cara agar terlihat bersih lagi adalah dengan membaliknya."

Belum selesai. :)

PULAITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang