***
Esoknya saat sarapan.
"Kau sudah mau berangkat, Pulai? Tidak menunggu kakakmu?" Mamak menatap tajam. Aku hanya tersenyum, cepat-cepat menjulurkan sebelah tangan. Mata Mamak menyipit dengan cepat, tampak menyelidik. Sebenarnya aku memang masih sebal dengan kejadian semalam. Kak Jo sungguh keterlaluan, suka sekali menggodaku. Jahil. Semalam mengotori bukuku, kemarinnya membuang sandal jepitku ke atap rumah, membuat mataku kelabakan mencari, menangis minta dibelikan sandal baru oleh Mamak, tapi boro-boro dibelikan, aku malah disuruh memanjat. Entah esok lusa apalagi yang akan diperbuat.
"Kau tidak berencana untuk membalas kakakmu, kan?" Mamak mengusap rambutku, tersenyum. "Atau kau akan Mamak hukum mengambil air sepuluh ember."
Aku menggeleng cepat, "Tidak, Mak." Mamak sudah meraih sebelah tangan, aku mencium punggung tangannya, mengucap salam dan melangkah menjauh, berangkat ke sekolah. Aku sudah merencanakan pembalasan, tapi mendengar Mamak bilang hukuman aku mulai urung melakukan. Sejak semalam Mamak memang bilang berkali-kali akan pentingnya memaafkan. Biar bagaimanapun Kak Johan tetap kakakku. Aku diam, tertunduk mendengarkan. Lantas selepas Mamak mematikan lampu, menyuruh segera tidur, tapi mataku malah tak bisa segera terpejam. Mulai berpikir rencana balasan.
Dihukum sepuluh ember? Oh tidak. Lebih baik aku membatalkan semuanya. Aku paling malas dihukum seperti itu, hanya Kak Jo yang suka melakukannya. Dihukum berkali-kali, tetap saja tidak jera. Tetap jahil menggodaku.
"Hei, Pulai." Semil tiba-tiba muncul mengagetkan. "Kau tidak bersama kakakmu?" Pertanyaan yang malas kujawab. "Menurutmu?" Aku melotot.
Semil menepuk-nepuk pundakku. Tertawa."Kau sudah sudah mengerjakan PR, Pulai?" Semil mulai bertanya hal lain. Sepertinya dia sedang tidak ingin pagi harinya rusak oleh pertengkaran.
"PR apa? Kau jangan membohongiku. Tidak akan berhasil." Aku menjawab mantab. Tapi Semil membalas dengan tidak kalah meyakinkan. Bilang Pak Ahmad akan memberi hukuman. Astaga, aku semalam sibuk bertengkar dengan Kak Jo dan Mamak. Hingga abai kalau puunya PR. Terlambat. Pak Ahmad berada di jam pertama, tidak akan sempat mengerjakan.
Aku mengembuskan napas menyesal.Pak Ahmad sudah memasuki kelas, berteriak kepada seluruh murid mengumpulkan PR. Semua teman maju ke meja guru, hanya aku yang tidak. Pak Ahmad mulai memeriksanya.
"Pulai, kenapa kau tidak mengumpulkan PR?" Semua mata mengarah kepadaku. Aku diam, tidak bisa menjawab pertanyaan sulit itu. "Kau tahu, siswa yang tidak patuh akan mendapat hukuman, bukan?" Pak Ahmad berkata lagi.
(Belum selesai)
KAMU SEDANG MEMBACA
PULAI
AdventureKalau ada sosok manusia paling hebat, maka dia adalah Mamakku. Buku ini kupersembahkan untuknya. Wanita terkuat di dalam rumah. Bercerita tentang keseharian anak kecil tinggal di desa kecil Pulau Jawa bersama mamaknya. Berjenis kenakalan dilakukan...