Aku berjalan gontai ke kelas. Bisa ku lihat temanku komat-kamit layaknya dukun. "Ngapain, sih?" aku menepuk bahunya, membuat gadis di depanku tergagap. "Sialan banget, gak lihat gue lagi ngehapalin ini rumus peluang? Aduh pusing banget." aku terkekeh.
"Malah ketawa, emang lo udah belajar buat ulangan harian matematika?" gadis di depanku bernama Ristya terus saja nyerocos. "Udah! Dan yang pasti gue gak selebay lo." Ristya mendengus.
"Lessa! Lo lupa hari ini piket kelas? Cepetan sapuin sisanya." aku menutup kupingku. Kalau yang ini namanya Alfa. Perempuan yang kerjanya cuma. Ngaca- senyum sendiri- ngaca- senyum sendiri.
"Sekali aja ya, Fa. Lo nyapu sendiri, deh. Perasaan dari kemarin-kemarin gue terus yang nyapuin satu kelas." aku mendumal. Tapi, tetap saja aku mengambil sapu yang tergeletak di belakang kelas.
"Akhirnya selesai." aku meregangkan sendiku yang rasanya bergeser karena menyapu. "Elah, Sa. Lo kayak nyapuin satu kampung aja, pakai peregangan segala." aku melihat malas ke arah Kharis yang berdiri di depanku dengan muka yang sangat ingin aku jambak saja.
"Idih, terserah gue, dong. Tubuh, gue yang punya. Ngapa lo yang kebakar jenggot?" aku melihat Kharis hanya menyengir.
"Kan aku sayang sama kamu. Aku gak mau kamu kenapa-kenapa." aku menepuk jidatnya.
"Jijik gue, anjir." dia hanya terkekeh.
"Guys... Guys... Gue ada berita penting." Naru berlari berlari membuat rambutnya iku bergoyang.
"Berita apaan?" aku dan teman-teman menghampirinya. "Nanti ulangan matematika, guys!" dia berteriak histeris.
Krik....
Krik....
Krik...."Naru, lo udah makan?" Avhina berdiri di depan Naru. Gadis berhijab itu bersedekap.
"Belum, tuh." jawab Naru. "Pantes ngeselin." kami yang mendengar judesnya Avhina tertawa minus Naru yang menggaruk tengkuknya.
"Lo semua gak kaget? Nanti ulangan matematika, loh." aku melihat Arnifa mendekati Naru.
"Kita udah tahu. Bahkan Pak Khaer sendiri yang ngomong." Arnifa memijit tulang hidungnya.
"Kenapa, Nif?" aku mencekal tangan Arnifa.
"Gue ngerasa kelas ini dikutuk, deh. Perasaan penghuninya kagak ada yang bener." aku tertawa.
____________________________________Kring.... Kring.....
Akhirnya, waktu istirahat tiba. "Teman-teman, waktunya konferensi meja bundar." Tara sang ketua kelas memulai rapat.
"Jadi, apa rencananya?" tanya Putra. Kami saling tatap. Banyak rencana sebenarnya. Tapi, rencana kita semua gak pernah kesampaian karena kita udah dicap anak alim, jadi mau ngerubah image kayaknya kita 'no' deh.
"Menurut kalian apa? Gue lagi gak punya ide, nih." Sufki. Aku menggaruk daguku.
"Gue boro-boro ide. Uang jajan aja kagak ada." kami menatap datar Wiyan.
"Jadi, kita harus apa, nih?" Tara mulai geram kayaknya.
"Satu-satunya jalan, ya kita kerja sama aja kerjain soalnya. Cuma itu. Kalau kita mau gagalin ulangan mana bisa. Ini yang kita bicarain itu Pak Khaer, loh." kami mengangguk-angguk.
"Ya udah kita bagi adil aja. Sekarang aja di kelas kita yang jago matematika ada 6. Ya, kan?" semua mengangguk menyetujui Malvin.
"So?" aku sepertinya tidak akan menyetujui ini. "Lo duduk di pojok kiri depan, nah si Avhina pojok kanannya. Terus, si Tama ujung kiri belakang, terus Abi kebalikannya. Nah, Apri sama Kharis suruh di tengah." Zack membuat formasi duduk layaknya formasi timnas Indonesia.
KAMU SEDANG MEMBACA
Aku
Ficção Adolescente60% diambil dari kenyataan 40% cuma khayalan author. Aku bukan dia Aku bukan kamu Aku bukan temanmu Aku bukan ibumu Aku ya aku