THE STORY

2.4K 48 0
                                    

Hari telah gelap. Matahari mulai menyembunyikan sinarnya. Adzan magrib terdengar dengan jelas. Suara teriakan anak-anak komplek didaerah rumah nenek dan kakek mulai menghilang. Saatnya aku dan adikku pulang kerumah.

“hati-hati.. jangan lupa siapkan baju dan buku sekolah untuk besok” ucap nenek lembut. Tanda kasih sayangnya terhadap cucunya.

“iyaa nek..dadahhh” teriak kami sambil melambaikan tangan.

Motor mama pun melaju menuruni gang rumah nenek dan kakek. Sepanjang perjalanan tak henti-henti mama mengingatkan untuk menyiapkan baju dan buku sekolah untuk hari Senin besok.

Setelah mama dan bapak bercerai, aku dan dua saudaraku tinggal bersama mama. Rumah kontrakan yang kecil tetap membuat kami nyaman untuk tidur. Kakakku sedang sibuk menempuh pendidikan lanjut di Universitas Mulawarman. Sedangkan aku dan adikku masih bersekolah di kota kelahiran.

Semenjak mama dan bapak bercerai, mama menjadi tulang punggung keluarga. Mama bekerja siang dan malam untuk memberi kami makan dan uang jajan setiap hari. Kehidupan setelah perceraian orang tua membuat kami harus mengerti dengan keadaan.  Berhemat, tidak boros, dan rajin menabung. Makan dengan apa adanya. Dan tidur berempat dalam satu kamar dengan satu kipas angin.

“ca, ayam goreng yang mama beli mana?” Tanya mama kepadaku.
“nggak ada eca pegang ma. Mama taruh dimana?” kataku.

“aduhh.. ketinggalan ditempat nenek. Yaudah, mama pergi ambil dulu” ucap mama sambil menepuk dahinya.

“ikut!!!” sorak adikku yang gila banget sama yang namanya “jalan”.

“iya iya.. kasih nyala lampu rumah tuh, ca. Setelah itu, mandi” ucap mama sambil memutar balik motornya. Akupun mengangguk.

Karna seharian kami tidak ada dirumah, lampu belum ada dinyalakan satupun. Dari kejauhan, rumah kontrakan yang kecil itu sangat menyeramkan. Akupun agak ketakutan. Tapi.. ah sudahlah, lupakan. Namun, aku merasakan sesuatu telah terjadi dirumah kontrakan kami.

Sesampai didepan pintu rumah, aku kesulitan membuka pintu rumah karena gelap sekali. Kemudian aku menyalakan senter di handphone ku. Bukannya membuka pintu rumah, namun mataku melotot melihat kaca jendela disamping pintu itu pecah.  Korden hijau milik mama terjuntai keluar rumah. Akupun sontak berlari meninggalkan rumahku. Tanganku gemetar memegang ponsel milkku. Dengan cepat, aku menelepon mama.

“halo.. iya sebentar ini mama…” ucap mama ditelepon namun aku memotongnya.

“maa…maa… cepat pulang! Sepertinya ada maling dirumah kita! Kaca jendela pecah maaa! Maaa eca takut maaa!!!” ucapku melalui telepon sambil menangis ketakutan.

“Astaghfirullah.. iya ini mama pulang sudah. Minta bantuan orang sekitar untuk melihat rumah kita” ucap mama lemah.

“iyaa maaa..” jawabku sambil menangis.

Akupun meminta bantuan kepada bapak-bapak dan ibu-ibu yang telah pulang shalat magrib berjamaah di masjid. Kami pun bersama- sama menuju rumahku. Aku yang masih menangis ketakutan ditenangi oleh seorang ibu tetangga rumah.

Seorang bapak pun membuka pintu rumah kami. Dari kejauhan, terdengar suara motor mama. Mama dan adikku pun berlari menuju rumah kontrakan kami. Mama pun memelukku. Aku dan adikku menangis ketakutan. Setelah pintu terbuka, mama pun menyalakan semua lampu yang ada dirumah kami. “Astaghfirullah” ucap kami semua. Ruang televisi berhambur. Meja belajar milik kami dibongkar habis-habisan. Kamar kami sangat berhambur. Lemari milik mama dibongkar. Piring- piring terletak dibawah lantai. Seisi rumah berhambur berantakan.

Ini adalah pertama kalinya aku mengalami kemalingan. Kakiku gemetar melihat isi rumahku seperti itu. Mama menelepon kakakku yang berada di Samarinda sambil menangis terisak-isak. Adikku yang memelukku dengan erat terus menangis ketakutan. Akupun menangis tak henti. Para bapak dan ibu tetangga kami berusaha menenangkan kami.

Sahabat menjadi CintaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang