4. Trauma Meninggal Harap

47 6 4
                                    

Tetapi adalah iya jika aku tidak pernah membayangkan hal ini akan terjadi. Kalau adanya kemungkinan sepasang kekasih dapat berpisah untuk sebuah alasan yang sulit dipahami. Sedang dibalik kebersamaan kami terlanjur banyak cerita yang terukir.

Tapi nyatanya. Hal itu tak menubah keadaan. Bahwa akhirnya dia menyadari kalau selama ini memang ada salah persepsinya mengenai warna kulitku yang berbeda dengannya.

Ketika ia kira itu hanyalah karena pengaruh sinar matahari, bukan pembawaanku sebagai seorang pribumi. Dirinya terkejut, dan tak kusangka ini bukanlah mimpi.

Saat ia ingin mengakhiri cerita diantara kami berdua, dengan alasan perbedaan wana kulit yang kami bawa. Mengingat faham rasis itu masih dianut secara diam-diam oleh masyarakat kami. Aku sungguh tak menyangka kalau dirinya adalah salah satunya.

Aku dibuatnya sulit untuk percaya, jika apa yang selama ini ada tak cukup untuk membuat kami tetap bersama. Padahal kami sudah begitu yakin, kalau tujuan kami dalam menjalin hubunganlah yang menentukan. Apakah kami memang ditakdirkan bersama?

Namun toh nyatanya memang jalannya harus digariskan dirinya menempuh jalan perpisahan ini. Sehingga aku harus merelakan dirinya, dengan melepasnya pergi. Menempuh pilihannya sendiri.

Walaupun jujur aku belum bisa merelakannya. Tapi toh, harus juga aku telan pil pahit perpisahan dengannya, dengan ikhlas dan rela. Menguatkan diri sendiri tentunya, memaafkan kalau memang perpisahan ini harus terjadi.

Meski harus aku terseok melepas bayangnya pergi. Sejujurnya pun, aku tak pernah bisa memungkiri. Kalau aku masih mengharap dirinya kembali. Karena serpihan harap dari cinta masalalu itu entah kenapa masih terus ada.

Sekalipun sudah aku coba membuka hati untuk yang lainnya, tapi tetap saja. Kepingan harap dari masalalu itu masih ada, tertinggal bersama dengan dia yang masih memilikinya. Bersamaan dengan hatiku yang entah mengapa, seperti memang menjadikan diri sebagai rumahnya. Tempat berlabuhnya segala harap dan kecewa pada sosok dirinya. Sekalipun sudah coba aku tegaskan pada diriku sendiri. Selalu saja kenyataan tak membuatku bisa membuatku langsung menerimanya. Karena dalamnya perasaan cinta itu tertinggal.

Juga adanya faktor lain yang mungkin membuat segalanya tak bisa berubah, adalah setiap pribadi lain yang mencoba menggantikan rasa untuknya. Semua tak ada bedanya dengan dirinya yang tak pernah menyadari bahwa aku ini adalah seorang pribumi. Hal itu nampak jelas dari cara mereka memanggil diriku dengan sebutan orang yang mereka hormati. Sungguh menyebalkan bukan?

Selain itu, persoalan lainnya yang menyebabkan aku tak bisa segera menghapus perasaan ini untuknya. Adalah ketakutanku untuk membuka hati bagi mereka yang ingin masuk mengisi ruang hidupku lebih jauh lagi. Aku seperti masih trauma meninggalkan harap yang aku takuti akan berakhir kecewa seperti sebelumnya.

Kecuali pada orang lain selain Nathan yang entah mengapa aku merasa nyaman jika bersama dengannya. Aku seperti menemukan kepingan diriku yang lain, kami merasa cocok satu sama lain.

Sekalipun sebenarnya masih tertinggal rasa ragu bisa bersamanya. Bila memang nantinya terungkap, diriku ini adalah pribumi nantinya. Namun tetap berharap dia sanggup menerimaku apa adanya.

Tetapi apakah benar begitu adanya Nathan?

Pikirku selalu meragu setiap aku ingin menceritakan mengenai diriku lebih dalam. Karena terlalu takut jika aku membayangkan persahabatan ini mesti menghilang....

Terganti oleh rasa kecewa akibat perbedaan warna kulit yang sedang kami bawa....

Filosofi Pasangan KopiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang