Reality - Zarry Stylik

1K 62 13
                                    

“Bagaimana kalau kita berangkat ke sekolah, sayang?” tanyaku sembari membantu Darcy memasang tas punggung di bahu kecilnya. Kulihat Darcy terlihat senang di hari pertama sekolahnya, aku senang mengetahui itu. Yah, kuharap ketidakhadiran ibunya tidak membuat semangatnya berkurang hari ini. Bagaimanapun juga, aku pernah mengalami hari pertama menginjakkan kaki di bangku sekolah. Aku sangat menantikan orang tuaku—terutama ibuku untuk datang dan memberi kecupan perpisahan dengan berlinang air mata menungguku dari depan sekolah sampai aku masuk ke kelas dengan selamat. Well, aku tau kalau Darcy juga akan berharap sama.

Di mobil, Darcy terus menyanyikan lagu dari radio yang memang kuputar dengan lagu anak-anak. Aku merasa tidak pantas jika anakku yang bahkan baru berumur 6 tahun sudah diperdengarkan dengan lagu cinta yang bahasanya belum bisa dimengerti. Aku sudah mati-matian memperjuangkan Darcy dari pihak ibunya, jadi aku harus mendidiknya dengan baik ‘kan? Jika tidak, hakim akan mengubah keputusan dan memberikan Darcy-ku kepadanya.

“Mary got a little lamb! Little lamb! Little lamb!” suara imut nan merdu dari mulut Darcy berhasil membuatku tersenyum pagi ini. Kata orang, itu talenta yang kuturunkan untuk Darcy. Dan aku rasa itu memang benar, aku bangga jika ia menurunkan bakatku.

“I love you, you love me. We are happy family! With a great big hug and a kiss from me to you.
Won't you say you love me too!” Tiba-tiba Darcy merangkul leherku yang sedang menyetir mobil membuatku menoleh ke wajah lucunya yang sedang tertawa. Aku selalu bahagia melihat tawanya, mencipratkan kesenangan tersendiri untukku.

“Daddy, apakah mom akan datang? Tadi malam aku bermimpi, mom dan dad sedang mengantarku masuk ke kelas..” tanya Darcy membuatku bimbang. Sungguh, aku sangat ingin membuatnya senang dengan kehadiran ibunya disini. Tetapi di sisi lain, aku tidak mau bertemu dengannya, yang bahkan sudah mempunyai pasangan hidup baru sekarang. Aku tau kalau seharusnya aku tidak boleh egois demi Darcy, tetapi aku tidak bisa melihat dia datang bersama suami barunya menyongsong Darcy masuk ke kelas sedangan aku hanya bisa tersenyum miris dari mobil.

“Daddeeey, jawablah pertanyaan anakmu ini..”

Oh, shit. Aku selalu tidak suka saat-saat dimana aku memutar kembali memoriku tentangnya karena Darcy mengingatkanku akan sifat dia yang ia turunkan juga pada Darcy. Pintar merangkai kata-kata dan bersilat lidah. Langsung saja, seketika pikiranku terbayang saat kami bertengkar dan selalu dimenangkan olehnya. Kalau boleh jujur,  aku merindukan itu.

“ Baiklah, dad akan mencoba menghubunginya. Tetapi, jika mom tidak bisa datang jangan kecewa, ya?” kataku akhirnya disambut anggukkan Darcy dua kali.

Kebetulan jalan sedang tersendat, aku mengeluarkan ponselku dan mengetik nomor yang bahkan masih kuhafal, satu persatu. Ragu, aku menekan tombol ‘call’ dan aku harap tidak ada jawaban dari sebrang sana.

One Shot [by request]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang