Charleston, malam hari….
“Amora, Raina ... kalian baik-baik aja?” tanya Emily yang terbatuk. Ia mencari dua sosok sahabatnya. Gadis itu langsung tersenyum lega begitu melihat sosok Raina yang juga terbatuk sepertinya di pojok ruangan. Tapi tunggu. Di mana Nara?
Perlahan, asap di dalam laboratorium itu mulai menghilang. Pandangan Emily kembali jelas. Ia menajamkan penglihatannya ke sekeliling ruang. Hasilnya sama saja. Sosok Amora menghilang bagaikan ditelan bumi.
“Emily! Di sini!”
Emily mengerutkan keningnya. Seperti suara Amora. Tapi sosoknya sama sekali tak terlihat.
“Hey! Di bawah bodoh!”
Emily langsung menolehkan kepalanya ke bawah, tepatnya ke samping kaki kirinya. Ia sangat terkejut dengan pemandangan di depan matanya. Amora mengecil! Ya, gadis itu mengecil. Kini tingginya hanya sebatas mata kaki Emily. Emily yang sangat shock langsung menjatuhkan dirinya ke lantai. Kakinya mendadak mati rasa, tidak dapat menopang tubuhnya.
“Kenapa lo jadi kecil gini, sih?” tanya Emily dengan suara bergetar. Amora hanya mengangkat bahunya seraya menatap tajam Raina yang sedari tadi hanya menunduk.
“Sepertinya, Amora jadi gini karena tersiram ramuan itu,” ujar Raina lemas. Ia menunjuk beberapa tabung yang pecah tak jauh dari tempatnya berdiri. Emily langsung merangkak menuju serpihan tabung kaca itu.
“Astaga! Small potion!” seru Emily membaca label salah satu tabung yang masih utuh. Ia menatap Amora prihatin.
“Woy! Gue nggak perlu tatapan kasihan lo itu. Cepat cari penawarnya,” kata Amora ketus seraya melipat kedua tangannya. Emily menggeleng pelan.
“Nggak ada penawarnya. Semua tabung itu ditaruh Kak Abel di lemari khusus ramuan yang belum lulus tes uji coba,” ucap Emily yang sukses membuat Amora melotot. Sementara Raina sudah mulai terisak.
“Sorry Ra, ini semua salah gue,” kata Raina yang tangisannya semakin kencang. Amora tersenyum hambar.
“Buat ramuan penawarnya. Lo bisa ngeraciknya kan?” tanya Amora pada Emily penuh harap. Gadis berkaca mata itu terlihat ragu. Ia memang pernah diajari oleh Abel sang kakak yang notabene seorang peneliti untuk meramu. Namun itu hanya sebatas meramu beberapa zat kimia yang nantinya bisa menjadi obat. Bukan untuk meramu penawar cairan pengecil tubuh seperti ini.
“Ok. Akan gue coba,” kata Emily yang langsung berlari kecil menuju rak buku di sudut ruangan. Matanya meneliti mencari buku panduan percobaan yang ditulis oleh kakaknya sendiri.
“Eh? Buku apa ini?” gumam Emily penasaran dengan sebuah buku tebal yang dipenuhi oleh akar pohon Ara. Akar-akar itu seperti membungkus dan mengunci buku itu. Di tengah sampul buku berwarna hijau lumut itu terdapat sebuah lubang berbentuk telapak tangan berukuran kecil. Emily mengambil buku itu lalu meletakknya di sebuah meja. Ia membawa tubuh mungil Amora ke atasnya.
“Apaan nih? Buku lumutan ini beneran buku panduan kakak lo?” tanya Amora ragu. Ia jijik melihat lumut yang memang menempel dibuku itu. Emily memutar kedua bola matanya malas.
“Nggak tau lah. Tapi buku ini menarik banget,” kata Emily sekenanya. Amora mendengus sebal. Ia sudah tak tahan berlama-lama di dalam tubuh kecilnya itu. Bahkan tikus saja masih lebih besar darinya.
“Ra, siniin tangan lo,” ucap Emily, tanpa aba-aba langsung menarik tangan mungil Amora. Meletakkan telapak tangan sahabatnya itu di lubang yang sepertinya tempat kunci itu.
“Hey! Apa-apaan lo! Lo mau ngapain sih Mil? Kalau—“
Ucapan Amora terhenti tatkala buku itu mulai bersinar. Perlahan, akar yang mengunci buku itu menghilang. Raina dan Emily tidak berkedip menyaksikan apa yang ada di depan mata mereka.
“Buku ini kebuka,” kata Raina pelan. Ketiga gadis itu saling melirik satu sama lain. Hingga akhirnya Emily memberanikan diri untuk membuka halaman pertama buku tersebut. Cahaya yang begitu menyilaukan langsung menyambut Emily dan Raina. Keduanya sampai harus memejamkan mata mereka selama beberapa detik hingga buku itu berhenti bersinar.
Amora Green lagi-lagi menghilang.
Kali ini bersama dengan Raina McKenney.
Emily mendesah pelan ketika ia mendapati kedua sahabatnya tidak lagi berada di laboratorium tersebut. Ia mencari ke lantai, memanggil Amora dan Raina. Namun hasilnya sama saja. Nihil.
Emily mengacak rambut pirangnya frustasi. Bersamaan dengan itu, tiba-tiba saja muncul tulisan di halaman pertama buku tersebut. Memang awalnya halaman itu kosong. Mata Emily membesar begitu membaca beberapa kalimat yang baru saja muncul di sana, ditulis dengan tinta berwarna emas.
“Our main casts,
Amora Green
Raina McKenney
Welcome to Valdivian, let’s join the story....”
~~~$$$~~~
BRUK!
Tulang ekor Amora terasa remuk ketika tubuhnya terlempar ke sebuah daratan dengan banyak bebatuan. Gadis itu membuka matanya perlahan. Aneh! Kenapa dia ada di tempat seperti itu? Ia melihat sekelilingnya tak percaya. Gadis itu sepertinya sedang berada di hutan. Dan lagi, kondisi di sana sedang siang hari. Ehm, bukankah di Charleston sedang malam hari? Amora memutar otaknya, berusaha mengingat apa yang terjadi sebelum ia bisa sampai di tempat misterius itu.
Benar juga. Amora ingat semuanya sekarang. Berkat ulah Emily, ralat maksudnya Raina yang punya ide gila untuk mencuri ramuan cinta milik kakak Emily, tubuhnya jadi mengecil karena tersiram ramuan pengecil. Dan yang lebih gilanya lagi, sepertinya Amora terhisap kedalam buku aneh yang secara tidak langsung terbuka karena telapak tangannya itu. Bisa disimpulkan telapak tangannya menjadi kunci bagi buku menjijikkan itu. How great!
Amora jadi sangat menyesal. Menyesali semuanya. Kenapa ia mau-mau saja ketika Raina mengajaknya untuk mencuri ramuan milik Kak Abel? See. Ia berada dalam masalah besar sekarang. Amora sudah mulai merasa lapar dan bahkan ia tidak tahu ada di mana dirinya. Terimakasih untuk Emily, sahabatnya yang super ceroboh. Dan terimakasih juga untuk Raina, si gadis dengan segudang ide gila.
“Karena mengatakan aku mencintaimu tidak semudah itu.”
Jawaban Joshua—sang mantan—akan pertanyaannya tempo hari kembali terngiang di telinga Amora. Rahang gadis bermata hazel itu mengeras. Telapak tangannya terkepal dengan kuat. Tidak. Ia tidak akan menyerah. Ia harus menemukan jalan keluar. Ia harus bisa kembali dan membuktikan kalau ia baik-baik saja tanpa pria bajingan itu. Amora harus membuat Joshua menyesal karena telah mencampakkannya.
“A-amora….”
Suara lemah itu menyadarkan Amora dari lamunanya. Gadis itu secepat kilat menolehkan kepalanya. Bola matanya langsung membulat sempurna.
Raina terbujur kaku beberapa meter dari tempatnya.
Dengan kondisi salah satu bagian tubuhnya yang terletak di bawah dada terus mengeluarkan darah segar.
Sebuah ranting pohon menancap di perut gadis itu.
“Raina!”
~~~$$$~~~
KAMU SEDANG MEMBACA
The Way to Valdivian
FantasyAmora Green tentunya sedang patah hati ketika ia dengan yakin menerima tawaran dari kedua sahabatnya-Raina dan Emily-untuk menyusup ke dalam laboratorium Abel yang notabene merupakan kakak Emily. Tujuan ketiga gadis itu hanya satu. Love potion, ra...