“Satu capuccino panas, Kin.” Ucapku seraya menaruh buku-buku tebalku diatas salah satu meja dalam cafe ini. “Panas, bu—.”
“Panas, bukan hangat. Aku mengerti.” Balas Kin dengan senyuman dan langsung meluncur dengan sepatu rodanya ke dapur. Aku tersenyum, saking seringnya aku kesini, para pelayan sampai hafal syarat pesananku.
Tanganku mulai memilih acak buku-buku novel yang baru kupinjam dari perpustakaan kota, dan akhirnya memberi putusan pada satu novel bersampul coklat bergradasi kuning berjudul Capuccino. Beberapa menit kemudian mataku menangkap Kin sudah berdiri di samping mejaku dan menurunkan pesananku dari nampannya, “the last capuccino for Tania.” senyumnya. “Untung kau tidak terlambat kesini. Karena jika itu terjadi, kau akan pulang dengan kecewa tanpa capuccino-mu.”
Aku terkekeh, “lucky me. Thank you, Kin.”
Kin mengedipkan matanya lalu kembali meluncur dengan cepat. Ku lihat, ia pergi ke arah pintu masuk karena ada seorang pengunjung baru. Kalau aku tidak salah lihat, pakaian pengunjung itu berselimut salju dan basah dimana-mana, juga, keadaannya berantakan sekali. Jadi, ia baru terkenal badai salju atau apa?
Ah, persetan. Pun aku memutuskan untuk kembali tenggelam pada novelku, membiarkan capuccino di depanku hingga dingin. Bingung mengapa aku memesan dalam suhu panas tetapi malah menunggu sampai suhunya dingin? Yah, sebenarnya aku suka saat-saat menunggu. Entah kenapa, tetapi aku suka menunggu. Menurutku, itu mengasyikan menanti saat-saat tertentu yang kita mau dalam satu saat. Sudahlah, aku tau ini aku memang aneh. Tidak perlu dibahas lagi.
Tiba-tiba aku merasa satu hempasan di tempat duduk persis di depanku. Kudongakkan kepalaku ke atas dan menatap satu sosok pria—yang ternyata pria berselimut salju itu. Mata hijaunya bertemu dengan mataku dan menatapku sebentar, lalu menggeleng tanpa arti. “A-aku minta minumanmu.”
Apa? Aku mengerutkan dahiku. Pria tak dikenal yang tanpa izin duduk di depanku, dan sekarang tanpa berbasa-basi meminta meminumku begitu saja? Memangnya ia siapa?
Aku menggeleng, “tidak akan. Kau bisa pesan sendiri.”
Pria keriting ini berdecak memutar matanya, tangannya mengencangkan pelukannya pada tubuhnya sendiri. “Habis. K-kau tidak bisa melihat kalau a-aku sangat kedinginan?”
Tentu saja aku melihatnya. Untuk berbicara saja sudah terbata-bata, bibir dan wajahnya agak kepucatan dan tubuhnya menggigil kedinginan. Sebagai manusia yang mempunyai hati, tentu saja aku iba. Tetapi, itu hakku kan untuk memutuskan apakah aku mengizinkannya atau tidak?
“Tidak boleh, aku sudah katakan.” jawabku, tetap atas jawabanku. Katakan keras kepala, tapi memang begitulah nyatanya. Keras kepala.
Pria tampan ini menggeram dan menaruh kepalanya di atas meja membuatku memfokuskan pandanganku padanya untuk beberapa waktu. “K-kau tidak membutuhkannya, sedangkan aku s-sangat.” ucapnya pelan, lebih tepatnya menggumam.
“Aku tidak mengenalmu dan aku tidak peduli.” balasku. Tanganku mulai merapikan novel-novelku bersiap-siap untuk pergi darisini. Badmood, itu yang kurasakan setelah bertemu pria ini.
Sebelum tanganku berhasil meraih gagang cangkir minumanku, tangan kekarnya lebih dulu menggapainya dan langsung meneguknya tanpa izin sampai habis, membuatku terbengong di tempat menyaksikannya. Dafuq?!
“HEY!” pekikku, yang kuyakini membuat semua mata tertuju padaku. Tetapi, persetan!
Pria ini hanya menatapku sebentar setelah ia menghabiskan minumanku, ia bangkit dari duduknya, menghampiriku, mengecup bibirku cepat, membisikkan kata-kata di telingaku, memberikanku kartu nama lalu pergi. Tidak, kau tidak salah baca.
KAMU SEDANG MEMBACA
One Shot [by request]
FanfictionIm taking a request for this One Shot! Go request in the comments column :) "You can make anything by writing." [ FINISHED ]