Bab 16

26.6K 2.5K 101
                                    

Haiiii... we are back ^^ Thanks untuk semua vote dan komennya, always put a smile on my face ^^

_________________________________________________________________________

Liam tidak pulang semalaman.

Amara meyakinkan dirinya bahwa ia tidak peduli pada fakta tersebut. Ia bahkan tidak akan peduli seandainya Liam tidak pulang berhari-hari - justru hal itu akan membuat Amara lebih lega. Namun masalahnya tidak sesederhana itu. Mereka memiliki kesepakatan dan Liam seharusnya menghargai perjanjian di antara mereka.

Jadi, semata-mata karena alasan tidak terhindarkan tersebut, maka Amara tidak punya pilihan. Sama seperti ia tidak memiliki pilihan lain selain berjalan menuju kantor pia itu dan... dan apa?

Ia belum benar-benar sempat memikirkan apa yang akan dilakukannya. Ketika berjalan melewati meja sekretaris Liam yang kosong, Amara sudah bisa menebak apa yang akan ditemukannya. Lagi-lagi, sang sekretaris genit itu sedang berada di kantor si perayu tak tahu malu - yang juga adalah suaminya.

Bagaimana Amara bisa lebih sial dari ini? Dari sekian banyak pria, ia harus memiliki pria yang suka menanamkan spermanya pada setiap wanita.

Oh Tuhan...

Semoga saja kelak anaknya tidak akan mewarisi sikap terkutuk pria itu.

Sekretaris pria itu lagi-lagi berjalan melewati Amara, menyapa pelan sambil mendekap setumpuk dokumen - yang Amara yakin tidak lebih dari sekedar modus untuk memasuki kantor bosnya setiap beberapa menit sekali - dan berlalu pelan tanpa mendapatkan balasan dari Amara.

Liam sudah berdiri dari kursinya, mungkin terkejut melihat kehadiran Amara. Gaya pria itu masih menyebalkan, dengan dua tangan di saku, ekspresi tenang tanpa rasa bersalah padahal dia menginap di tempat lain tadi malam.

"Wah, apa yang membawamu ke sini, Amara?"

Amara ingin sekali menggerus senyum pria itu.

"Apa aku akan selalu menemukanmu berduaan dengan sekretarismu setiap kali aku memasuki kantormu?" Amara bertanya geram sambil melangkah mendekati pria itu, untuk sejenak melupakan alasan yang membawanya kemari.

Liam sama sekali tidak menampakkan rasa bersalah, pria itu malah terlihat geli, suaranya bahkan mengandung lebih banyak kegelian seolah dia sedang mencoba menahan tawa. "Dia sekretarisku, Amara. Apa yang kau harapkan? Tapi, kalau memang itu menjadi masalah buatmu, kalau dia selalu menjadi sumber kecemburuanmu, aku sama sekali tidak keberatan bila kau ingin mencarikanku sekretaris baru."

Dasar pria tidak tahu malu, batin Amara. Ia menarik napas dalam dan memutuskan untuk mengabaikan sindirian tersebut. Amara kini berdiri berhadapan dengan pria itu, membalas tatapan geli yang dilemparkan pria itu padanya dan mengucapkan apa yang menjadi tujuan kedatangannya. "Kau tidak pulang semalaman."

Shit! Apakah pengucapannya yang salah? Atau mungkin kosakatanya? Atau nada yang digunakan Amara? Ia jelas tidak ingin terdengar seperti istri cerewet yang pencemburu tapi entah kenapa, ketika kata-kata itu terlontar dari mulutnya, Amara menangkap kesan tersebut. Sialnya, Liam sepertinya juga berpendapat serupa.

Liam menyengir senang sementara Amara mendelik untuk memperingatkan pria itu.

"Urusan pria, sayang," ucap pria itu akhirnya.

Seandainya Liam menjawab baik-baik, maka Amara tentu tidak perlu marah. Jawaban pria itu hanya mendorong naik tekanan darah Amara. "Apa kau tidur dengan wanita lain?" tanyanya kasar.

Liam pura-pura menampilkan ekspresi terkejut. "Astaga, Amara. Apakah kau peduli?"

"Jawab saja, berengsek."

Their Marriage Agreement (The Wedlock Series #3)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang