Nata tidak pulang malam itu. Nata hanya berjalan tanpa tahu kemana kakinya akan membawanya.
Juna sangat khawatir. Terlebih dia mempunyai tanggung jawab yang telah di embannya saat orang tuanya hendak pulang kampung ke Lampung.
Juna mencoba menghubungi semua teman-teman Nata. tak terkecuali Satria. Saat mendengar bahwa kemarin malam Satria menemui Nata. Juna langsung menuju tempat pertemuan Nata dan Satrian kemarin malam.
"De.. lo dimana sih de?" Juna berkali-kali mengusap wajahnya dan tak henti-hentinya meneliti setiap tempat yang Juna lewati.
"Nata.. lo tuh ga berubah ya masih tetep bandel. Suka ilang-ilangan." Juna menendang kerikil yang ada di ujung sepatunya lantas mengumpat.
Kerikil yang di tendangnya terlempar jauh mengarah ke sekumpulan orang yang seperti tengah menonton sesuatu. Dengan langkah gusar Juna menuju ke tempat sekumpulan orang itu berkumpul.
"Maaf pak, ada apa ya?" Juna bertanya sopan.
"Ini mas ada wanita yang di temuin penduduk di pinggir pantai barusan."
Juna segera menyeruak ke dalam kerumunan orang-orang itu lantas menerjang seorang wanita yang sedang terkapar tidak berdaya.
"Nata.. ya Tuhan Nata.." Juna sempat mengerjap beberapa kali, membuat air di pelupuk matanya jatuh ke tanah. Melihat kondisi Nata yang kotor, basah dan dengan kulit yang nyaris seperti tidak dialiri darah membuat Juna semakin panik.
"Pak.. tolong bantu saya gadis ini." orang-orang masih berkerumun tanpa memberikan reaksi yang Juna inginkan, "Pak dia adik saya. Dia membutuhkan pertolongan segera!" Juna sedikit membentak.
Juna dan dua orang penduduk membawa Nata ke mobil yang Juna bawa. Lantas kemudian mereka pergi ke rumah sakit terdekat.
Nata segera dilarikan ke UGD karena kondisi Nata cukup memprihatinkan.
Setelah dilakukan pemeriksaan dan telah melalui masa kritis, Nata di pindahkan ke ruang ICU.
Juna menemani Nata. Ditemani dengan Amira kekasihnya.
"Nat kenapa bisa sampe kayak gini sih Nat?" Juna menggenggam erat tangan Nata, "Kamu ga biasanya sebandel ini, sampe ga pulang kerumah dan sekarang malah terbaring gini."
Amira yang berada di sisi Juna hanya mengelus baju juna.
Tak lama terdengar suara pintu di ketuk. Di balik pintu itu ada Fafa dan suster jaga yang menangani Nata. Juna di minta untuk menemui dokter.
"Adik anda terkena tipes. Sepertinya adik anda selama seharian tidak ada asupan nutrisi ke dalam tubuhnya sama sekali. Terlebih dengan fakta bahwa adik anda di temukan di tepi pantai dengan pakaian yang nyaris basah. Itu membuat kondisinya semakin buruk." Ucap dokter yang menangani Nata.
"Lalu apa yang harus saya lakukan?"
Tiba-tiba ponsel Juna berdering. Ada panggilan dari Ibunda nya.
Dokter mempersilahkan Juna untuk mengangkat ponselnya.
"I..iya bun."
"Juna kamu baik-baik aja? Bunda telepon ke ponsel adik kamu tapi ga di angkat-angkat. Kalian baik-baik ajakan?"
"Ba..baik bun." Juna masih saja tergagap.
"Abang tunggu sebentar. Bunda akhiri dulu panggilannya."
Juna menelan ludah. Merasa lega untuk sesaat. Karena sesaat kemudian panggilan video call dari Bundanya membuatnya merasa cemas.
"Duh mampus gue. Bunda segala vicall." Mau tak mau Juna mengusap icon hijau di ponselnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
LUCID DREAM
General FictionBiarkan kerinduan itu mencari Melanglangbuana Mengembara dalam dimensi hening Untuk tahu kepada siapa Ia pantas ber-Tuan . . Awalnya bernafaspun masih terasa menyesakkan. Namun seketika semua berubah saat udara bisa dirasakan dengan cara yang lain. ...