[Aqila Al-Amin]
Aku baru saja hendak membuka lokerku ketika seseorang menempelkan kotak kecil ke pipiku. Sewaktu menoleh, kudapati mata biru Jameelah terlihat berseri-seri, seolah ribuan bintang tengah menari di dalamnya. Seringainya yang lebar membuatku bertanya-tanya, tetapi bahkan sebelum aku mengutarakan pikiran, Jameelah sudah mulai bercerita.
"Aqila, kau tak akan percaya ini!" Dia berseru dengan suara tinggi, membuat orang-orang di sekitar menoleh. Namun, tak memikirkan pandangan mereka, Jameelah melanjutkan, "Kemarin, aku pergi bersama Muneer dan ibuku. Kami menemukan restoran Turki baru yang mempunyai," dia mencium kelima jari kanannya untuk menirukan gerakan seorang koki, "kebab au goût incroyable." Jameelah menundukkan kepala, menyamakan diri denganku sambil berbisik, "Itu bahasa Perancis untuk 'kebab dengan rasa yang luar biasa'."
Dengan kedua tangannya, Jameelah memberikan kotak yang tadi dia tempelkan ke pipiku. Aku berkata, "Biar kutebak, ini ..."
"Seratus!"
"Aku bahkan belum selesai berbicara!"
"Ini kebab dari restoran itu dan aku sengaja mengatakan pada ibuku untuk membungkus beberapa agar aku bisa memberikannya kepada kalian tetapi aku dan Muneer tak sengaja menghabiskannya sewaktu kami tiba di rumah yang akhirnya hanya tersisa satu jadi kupikir akan lebih baik kalau kuberikan padamu agar kau bisa membaginya secara rata kepada teman-teman."
Aku asal mengangguk, walau tak mengerti dengan maksud kalimat dengan kecepatan yang mungkin melebihi sepuluh kereta Amtrak. Untung Jameelah agak sedikit peka kali ini. Dia langsung berkata, "Tolong bagikan ini kepada teman-teman," dengan sedikit lebih lambat.
"Memangnya kebab yang dibeli kemarin masih bisa dimakan hari ini?"
Jameelah mengedikkan bahu. "Entahlah. Tapi aku menyimpannya di kulkas semalaman dan sempat kupanaskan juga pagi ini jadi kurasa masih bisa dimakan lagi pula kalaupun kalian tidak suka tinggal berikan padaku dan aku akan memakannya."
Aku menyipitkan mata. "Kau tidak puasa?"
Kedua matanya melebar. "Ini hari apa?"
"Senin."
"Astaghfirullah! Aku benar-benar lupa! Akan kuberikan Muneer pelajaran karena tidak mengingatkanku padahal tadi pagi dia melihatku sarapan!"
Aku tertawa. Di balik penampilannya yang feminin dan terlihat pemalu, Jameelah sangat blak-blakan terutama di depan orang-orang yang dikenalnya. Bahkan dia masih berceloteh hal yang tidak jelas sewaktu mataku menangkap Lara melewatiku bersama sepupu dan teman-temannya.
Hari ini Lara mengenakan jaket panjang berwarna merah muda lembut yang polos, sangat cocok dengan warna rambutnya. Aku bertanya-tanya berapa banyak pakaian tebal seperti itu yang dimilikinya. Sebab bila kuingat-ingat, hampir setiap hari dia mengenakan warna dan motif yang berbeda.
Gadis pirang itu melirikku, tersenyum simpul sembari mengangguk samar. Aku melakukan hal yang serupa dengan tidak mencolok, takut kalau-kalau salah satu dari antek-antek Millia mendapatiku menyapa Lara dan dia akan dilarang bersekolah untuk selamanya.
Aku menoleh ke samping, menatap loker yang seharusnya menjadi milik Lara. Akan tetapi, sejak kejadian di kantin minggu lalu, aku tak pernah melihat Lara mendekati loker ini. Mungkin lokernya telah dipindahkan atau dia sedang dilarang menggunakannya oleh Suzzanne.
Lara sudah menceritakan semuanya pada kami melalui sudut pandangnya. Mulai dari ibunya yang overprotective dan bagaimana ia selama lebih dari sepuluh tahun terkurung di dalam rumah yang menjadikan Suzzanne sebagai satu-satunya anak seumuran terdekat dengannya. Lara berkata kalau ibunya selalu berdalih bahwa tubuhnya sangat lemah, bahkan secara rutin seorang dokter akan datang ke kediaman Douglas untuk melakukan pemeriksaan kesehatan. Dia tak pernah tahu penyakit apa yang dideritanya sebab satu-satunya hal yang sang dokter lakukan ketika datang adalah menanyakan pertanyaan-pertanyaan tertentu sampai Lara merasa amat mengantuk dan tertidur.
KAMU SEDANG MEMBACA
100 Days Evidence
SpiritualMengandung konten SARA, dimohon kebijaksanaannya. =============== [15+] Namanya Lara Douglas. Dia sudah lima belas tahun hidup dan tinggal di kota ini, walau hampir tak ada yang mengenalnya kecuali ibunya serta pendeta dan para jemaat di gereja. Aka...