6 Reuni Rumah Merpati
Jam digital di meja kabinet menunjukkan angka 08:04 WIB. Setelah melirik jam kotak yang kubeli saat liburan ke Bali tahun lalu, aku menutup mataku lagi. Empuknya tempat tidur membuat tubuhku ingin berlama-lama dibaringkan. Seperti inilah asyiknya jika sedang dapat palang merah. Bangun tidur bisa dinegosiasi. Sayangnya, panggilan alam tidak bisa ditunda.
Kuempaskan tangan Lian yang dia taruh sembarangan di atas perutku. Pantas saja, panggilan alamku semakin menyiksa sebab ada tangan lain yang menimpanya. Lian kelihatan terganggu. Aku abaikan dia dan masuk ke kamar mandi.
Setelah menuntaskan segala urusan, aku kembali lagi ke kamar. Lian masih tidur.
Aku keluar menuju balkon setelah memakai hijab instan. Mendung menggelayuti langit. Awan samar-samar terlihat bergerak entah ia ingin menjauh atau menjatuhkan airnya di kota ini. Sepertinya awan belum puas setelah mengguyurkan air matanya semalaman.
Dari sini aku bisa melihat papa mertuaku berjalan ke mobilnya dengan diantar Mama Nora. Mereka memang pasangan yang berbahagia. Ketika akan berbalik masuk ke rumah, pandangan Mama Nora tertuju kepadaku. Mama tersenyum dan melambaikan tangannya. Mama pasti berpikir yang macam-macam.
"Aaah astagfirullah!!!"
Aku nyaris terkena serangan akibat kedatangan Lian yang tiba-tiba. Dia tersenyum tipis atas reaksi kagetku. Aku melanjutkan niatku untuk masuk lagi ke kamar. Namun, langkahku tertahan saat tanganku ditarik oleh Lian.
"Mau yang geli-geli lagi tidak?"
Aku melepaskan tanganku darinya. Kakiku kuayun cepat ke dalam. Celakanya, kakiku terserimpet oleh gaunku sendiri. Hidungku hampir saja mencium lantai. Untung ada tangan Lian yang memeluk pinggangku sebelum bibirku bersentuhan dengan ubin yang keras.
Tidak mudah mengajarkan jantung, organ yang bekerja paling dahsyat, saat bersentuhan seperti ini. Waktu lagi-lagi seolah berhenti. Aku menelan saliva sebelum berbicara. "Bisa lepaskan? A-aku sudah bisa berdiri," ucapku gelagapan.
Dia mengingatkanku kepada hal paling memalukan kemarin. Ketika Lian menciumku, aku mendorongnya dengan kuat.
"Sedang memikirkan apa?"
Mengembuskan napas beberapa kali, akhirnya aku dapat menenangkan diri. Aku harus segera menjauh dari lelaki itu jika tidak ingin perasaanku berkembang kepadanya. Betapa malunya nanti jika aku menyukai Lian hanya karena ciuman!
"Lian, ayo sarapan ke bawah!"
"Aku mandi dulu."
"Oh iya, sebentar aku ambilkan handukmu."
Kalau handuk, aku ada. Tapi baju ganti untuk Lian tidak ada.
"Kenapa, Wi?" Lian datang ke sampingku. Dia melilaukan matanya ke susunan bajuku dalam lemari pakaian.
"Aku tidak memiliki baju untuk kamu pakai," ucapku.
Lian tertawa ringan.
"Aku hanya akan mandi, tidak harus mengganti pakaianku. Aku tidak bau, 'kan?" Lian mencium lengan atas bajunya.
Aku menggeleng. Lian tersenyum. Dia manis sekali. Senyumannya membuat api-api kecil dalam hatiku menyala. Bibirku ikut tertarik melihat senyuman yang sampai ke matanya. Beberapa menit kami lalui dalam senyuman tanpa kata. Aku memutuskan bahwa sudah waktunya aku memberi makan lelaki itu.
"Aku akan menyiapkan makanan untukmu," putusku.
"Tidak bisakah kamu buatkan aku segelas susu seperti yang kamu minum setiap hari?" Lian menahan langkahku yang hampir melewati pintu dengan pertanyaannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Luka (Dihapus Sebagian)
Romance𝙰𝚍𝚊𝚔𝚊𝚑 𝚜𝚎𝚋𝚞𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚋𝚊𝚑𝚊𝚐𝚒𝚊𝚊𝚗 𝚋𝚒𝚕𝚊 𝚕𝚎𝚕𝚊𝚔𝚒 𝚢𝚊𝚗𝚐 𝚖𝚎𝚗𝚓𝚊𝚍𝚒 𝚜𝚞𝚊𝚖𝚒𝚖𝚞 𝚊𝚍𝚊𝚕𝚊𝚑 𝚔𝚎𝚔𝚊𝚜𝚒𝚑 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝𝚖𝚞? 𝚂𝚒𝚠𝚒 𝚖𝚎𝚗𝚐𝚊𝚖𝚋𝚒𝚕 𝚔𝚎𝚙𝚞𝚝𝚞𝚜𝚊𝚗 𝚋𝚘𝚍𝚘𝚑 𝚜𝚊𝚊𝚝 𝚜𝚊𝚗𝚐 𝚜𝚊𝚑𝚊𝚋𝚊𝚝...