Hari berlalu dengan begitu cepat, kini minggu telah tiba. Zian baru saja tiba di rumah Indri setelah sibuk berputar-putar di sekeliling komplek mencari alamat gadis itu selama satu jam. Indri memintanya menunggu di ruang tamu sementara dia ke dalam mengambilkan minum.
“Nih, minum dulu,” ucap Indri sambil meletakkan segelas es jeruk ke depan Zian. Zian melepas kacamatanya sesaat untuk menghapus keringat di dahinya. Lalu cowok itu menenggak es jeruk itu tanpa perlu disuruh dua kali.
Tanpa sadar Indri memerhatikannya. Ia baru sadar kalau Zian memiliki mata berwarna cokelat, tidak seperti orang Indonesia kebanyakan. Jujur, dia terlihat lebih tampan bila melepas kacamatanya. Indri secepat mungkin mengalihkan pandangannya sebelum Zian sadar kalau dia diam-diam memerhatikannya.
Cowok itu kembali memasang kacamatanya. Kali ini Zian memakai kacamata dengan bingkai berwarna abu-abu, bukan berwarna biru seperti biasanya. “Jadi, lagu apa yang lo pilih?” tanya Zian.
“Hmm, kalau lagu Phil Collins mau gak?” tanya Indri meminta pendapat.
“Phil Collins? Lagunya yang mana?”
“You’ll Be In My Heart, original soundtrack Tarzan.”
Zian berpikir sebentar mencoba mengingat. “Oh, ya, gue tau lagu itu. Lo punya chord gitarnya, gak?”
Indri mengerjap sesaat. “Lo mau pakai gitar?” tanyanya. Zian mengangguk.”Sebentar gue cariin. Kayaknya gue pernah simpen, deh.” Indri langsung berlari menghilang ke dalam kamarnya.
Saat tiba di kamar, ia mengacak berkas-berkas di meja belajarnya, mengeluarkan beberapa buku lagu dalam lemarinya, tapi tak menemukan apa pun.
“Nyari apaan, Kak?” tanya Inka tiba-tiba sudah ada di belakangnya.
Indri menoleh sebentar. “Nyari lirik lagu Phil Collins sama chord gitarnya. Lo liat, gak?” tanya Indri. Dia kembali mengacak tumpukan lain bukunya.
“You’ll Be In My Heart?” tanya Inka meyakinkan.
“Iya. Liat gak?”
“Ada di kamar gue. Perasaan gue pernah bilang minjem ke lo,” ujar Inka.
Indri menghentikan geraknya dan menoleh dengan cepat. “Ya udah, ambilin dong.” Inka berjalan ke kamarnya dan kembali beberapa menit kemudian.
Dia langsung memberikan liriknya pada Indri. “Kak, gak mau kenalin gue ke Zian?” tanya Inka.
“Ogah. Gue udah bantu kirim surat masa gue bantuin lo kenalan juga?” Indri langsung bergegas meninggalkan adiknya sebelum Inka mulai memohon atau merengek.
Indri kembali ke ruang tamu saat Zian sedang sibuk mengatur nada senar gitarnya. Indri meletakkan kunci dan lirik lagu di atas meja. Zian hanya mendongak dan membaca lirik lagunya sambil sesekali mencoba nadanya.
Diam-diam Inka sibuk mengintip dari belakang tembok, menanti Zian bernyanyi karena begitu penasaran dengan suara cowok itu.
“Come stop you crying, it will be alright…” Dia berhenti sesaat.
“Kok kayaknya ada yang gak enak ya dari nadanya?” gumamnya pelan. Di lain sisi Inka sibuk tersenyum puas mendengar suara merdu cowok itu. Ternyata suaranya juga keren.
Indri sibuk memerhatikan Zian yang mengatur senar gitar dengan antusias yang tinggi. “Belajar main gitar susah gak sih, Yan?” tanyanya tiba-tiba.
Zian mendongak menatap Indri. “Tergantung. Kalau lo niat banget mau belajar, gampang kok.” Dia terdiam sesaat. “Lo mau belajar main gitar?” tanya Zian kemudian. Indri mengangguk, matanya berkilat senang.
“Ya udah, sekalian gue ajarin, deh.” Dia kembali memainkan senar gitar sambil sesekali mengajari Indri beberapa kunci gitar.
Jauh di belakang tembok, sepasang mata tadi menatap penuh iri pada pasangan itu. Andai gue yang ada di posisi Kak Indri, batin Inka. Dia merasa iri karena kakaknya mendapat kesempatan untuk mengenal siapa Zian dengan lebih dekat, bukan dirinya. Inka pun berlalu meninggalkan mereka sebelum rasa cemburunya menggerogoti lebih jauh lagi ke dalam hatinya.
***
Indri sedang membaca komik Naruto pinjaman Tirta dengan sangat serius. Tadi Tirta baru saja menanyakan apakah dia sudah menyelesaikan komiknya. Kalau saja cowok itu tak menelponnya, mungkin Indri sudah lupa kalau sedang meminjam komik cowok itu.
“Kak?” panggil Inka sambil bersandar di depan pintu kamar Indri yang terbuka lebar. Indri masih menatap komik dengan serius tak peduli dengan panggilan adiknya.
“Kaaaakkk,” panggil Inka lagi. Kali ini berhasil membuat kakaknya menoleh meski tetap tak menjawab. Inka mengacungkan amplop berwarna biru langit sambil tersenyum. Indri tak perlu bertanya lagi amplop apa itu, karena dia sudah dua kali memegang amplop yang sama dengan tujuan yang sama pula.
Indri menghela napas pelan. “Masih? Emang harus ya tiap seminggu sekali lo kirim surat? Kalau kayak begini terus, nanti dia bisa curiga.”
“Kan gue udah bilang berulang kali, kalau lo nanti kepergok atau sampai dicurigai, lo langsung ngaku aja kalau surat itu dari gue. Gampang, kan?”
“Ck, percuma ngomong sama batu, gak bakal didengerin juga. Ya udah, taro di dalam kantong tas gue deh, gue males berdiri.”
Inka mengangguk dan berjalan menghampiri tas kakaknya sebelum disuruh dua kali. “Makasih, Kak.” Dia lalu meninggalkan kamar Indri seperti yang sudah-sudah. Hanya datang ke sana bila ada perlu menyangkut Zian. Liat aja, besok pasti gue udah disambut pas pulang sekolah dengan pertanyaan ‘suratnya udah dikasih?’, batin Indri. Dia memejamkan matanya sejenak. Apa begitu ya kalau orang sampe jatuh cinta? Suka melakukan hal bodoh gak berguna kayak gini? Ya ampun, jangan sampe gue begitu nanti.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Story 3 | When Indri Falling in Love
Teen FictionCinta itu indah, cinta itu bahagia. Tapi apa jadinya kalau cinta membuat hubungan Kakak adik yang erat putus begitu saja? Akankah cinta itu tetap terlihat indah? Bisakah rasa cinta membunuh hubungan darah? Atau sebaliknya, bisakah hubungan darah men...