Indri seperti biasa diam di tempat saat waktu istirahat tiba, menunggu kelas sepi sebelum mulai mengendap bagaikan seorang maling. Semua temannya telah meninggalkan kelas, dia menoleh ke sekeliling tapi Zian masih ada di sana.
Indri memejamkan mata sejenak sambil memasang headsetnya, menunggu hingga Zian meninggalkan kelas. Dia menoleh lagi sebentar, tapi cowok itu sedang sibuk dengan novel di tangannya tanpa mengacuhkan keadaan sekitarnya.
Ck, kenapa dia gak keluar kelas, sih? Tumben banget. Terus gimana caranya gue selipin surat ini kalau dia diam kayak patung di sana? Novel apa sih yang dia pegang sampe serius banget bacanya? Indri menggerutu sendiri dalam hati.
“Gak keluar, Dri?” tanya Zian tiba-tiba sambil menutup halaman novelnya.
Indri tersenyum sambil menggeleng. “Enggak, lagi males. Lo sendiri gak keluar?”
Zian mengangkat bahunya. “Ini mau ke perpus. Duluan, ya.” indri mengangguk sekilas lalu Zian pergi menjauh dari ruang kelas. Indri mengikuti sambil mengintip dari celah pintu kelas, punggung Zian makin menjauh menuju perpustakaan.
Gadis itu menghela napas lega. Kenapa gak dari tadi sih lo keluar? Kemudian Indri kembali menuju mejanya untuk mengambil surat. Dia kembali mengendap ke meja Zian sambil memerhatikan sekitar seperti biasa. Dia membuka tas cowok itu dan menyepikan amplop biru langit itu di tempat biasanya.
Setelah menutup kembali restleting tas cowok itu, dia kembali menghela napas pelan.
“Gue heran, ini cowok gak merasa penasaran apa sama si pengirim surat? Kok dia kayaknya bertingkah biasa aja ya?” tanya Indri bicara sendiri sambil mengetukkan jarinya ke dagu.
Lalu dia berjalan kembali menuju mejanya untuk mengambil HP-nya dan keluar kelas menuju kantin untuk menyusul keempat temannya yang lain.
Lalu sosok Zian keluar dari belakang daun pintu menatap Indri yang makin menjauh. Dari tadi dia di sana memergoki si pengirim surat misterius yang sudah dia curigai sejak seminggu yang lalu. Cowok itu sengaja berpura-pura keluar kelas agar Indri bisa melakukan apa pun yang biasa dia lakukan.
Pada awalnya Zian tak percaya kalau sosok ‘I’ itu adalah Indri. Siapa juga yang akan menyangka kalau sosok cewek tomboy seperti dia bisa mengirim surat seperti itu? Tapi setelah tadi melihatnya dengan mata kepala sendiri, Zian baru bisa memercayai apa pun yang pernah ada di pikirannya.
Kemudian cowok itu berjalan memasuki kelas dan membuka tasnya. Amplop berwarna biru langit itu terselip rapi di dalam kantong tasnya. Dia membuka lipatan kertas dalam amplop itu.
For Zian
Hai, sorry ya jadi ganggu lo terus belakangan ini. Gue masih gak punya kesempatan untuk memperkenalkan diri. Gue pengen deh lo bisa nebak gue itu siapa. Hmm, gue sering bertanya sendiri sih, lo pernah ngerasa penasaran gak sih siapa gue sebenarnya? Atau mungkin belum ada satu pun surat gue yang lo baca?
Yah, kalaupun belum gue yakin suatu saat nanti lo akan baca salah satunya. Lo percaya gak sih, Yan, sama cinta pada pandangan pertama? Gue enggak percaya sebenernya, tapi saat ketemu lo, gue sadar kalau ‘love at first sight’ itu emang benar ada.
Gue gak yakin sih lo masih ingat sama kejadian itu. Waktu itu lo nolong gue dari lemparan bola basket di tengah lapangan sekolah. Di saat itu gue baru bisa liat lo, sering merhatiin lo. Sempat terpikir mau deketin lo dan perkenalin diri, tapi lo keliatan dingin banget, terlalu serius, gue gak berani.
Jujur, gue pengen banget suatu hari nanti sebelum lo lulus, gue muncul di depan lo dan bilang, “Hai, Yan, gue adalah cewek pengirim surat itu,”
Mungkin itu cuma mimpi kali, ya. Kayaknya lo juga gak peduli siapa yang udah nulis surat ini buat lo.
Ini kayaknya surat terpanjang yang pernah gue tulis ya? Kalau lo mau nanya sampai kapan gue akan kirimin lo surat kayak gini, jawabannya simple, sampai lo punya ‘someone’ di sisi lo yang membuat gue dengan terpaksa harus melepas lo. See you at other time, ya.
From I
Zian mengernyitkan dahinya bingung. Nolong dia dari lemparan bola basket? Kapan? Zian mencoba mengingat-ingat kejadian itu, tapi ia tak bisa mengingatnya sama sekali. Emang pernah y ague nolongin orang kayak gitu? Kenapa gue gak bisa ingat sama sekali?
Cowok itu menumpukan lengannya ke atas meja. Surat itu masih terbuka lebar di depannya. Dia masih mencoba mengingat dengan susah payah pertemuan pertamanya dengan Indri. Dalam hati ia sedikit menyesal karena tidak pernah mencoba peduli dengan sekitarnya. Bahkan dia lupa kapan mengenal gadis itu untuk pertama kalinya.
Zian menghela napas lelah. Mungkin baginya pertemuan itu sama sekali tak penting untuk diingat, tapi belum tentu itu juga berlaku untuk Indri atau orang lain yang pernah bertemu dengannya, kan? Terkadang manusia cuek seperti Zian memang begitu, menganggap semua hal tidak terlalu penting tanpa memikirkan kalau di sisi lain orang itu menganggap pertemuan mereka spesial.
Zian melipat kembali surat itu dan memasukkannya ke dalam tas kembali. Lalu apa yang harus gue lakukan? Apa gue harus datang ke hadapan Indri dan bilang, “Sorry, Dri, gue benar-benar gak inget sama pertemuan pertama kita itu,”? Ah, bodoh. Kalau Indri beneran suka sama gue, dia bakal sakit hati lah kalau gue bilang begitu.
Cowok berkacamata itu mulai merasa sedikit frustasi. Selama ini dia sadar ada beberapa yang mungkin menyukainya, itu pun ia ketahui dari teman-temannya. Tapi sebelumnya tidak ada satu pun dari mereka yang sampai senekat ini mengiriminya surat, bahkan mungkin mereka hanya memilih memendam semuanya di dalam hati.
Sekarang saat Indri melakukan ‘sesuatu yang lain’, dia bingung harus menghadapinya dengan cara apa. Hah, kenapa ia tak pernah sekeli pun memikirkan ini semua akan terjadi suatu saat nanti? Dan kenapa pula cewek pertama yang senekat ini adalah Indri? Cewek yang tak pernah terpikirkan olehnya sebelumnya.
Oke, mungkin gue harus mencoba menghadapinya. Mungkin suatu saat nanti sebelum dia sempat mengaku, gue bisa jatuh cinta sama dia. Bukankah cewek unik itu lebih mudah dicintai?
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Story 3 | When Indri Falling in Love
JugendliteraturCinta itu indah, cinta itu bahagia. Tapi apa jadinya kalau cinta membuat hubungan Kakak adik yang erat putus begitu saja? Akankah cinta itu tetap terlihat indah? Bisakah rasa cinta membunuh hubungan darah? Atau sebaliknya, bisakah hubungan darah men...