“Indri!” panggil Tirta saat Indri sedang berjalan keluar sekolah bersama keempat sahabatnya.
Indri menoleh ke arahnya. “Hai, Ta. Kenapa?”
“Komik gue udah selesai?” tanyanya.
“’Udah, kok. Sebentar gue ambil.” Gadis itu merogoh saku tasnya mencoba menemukan komik itu. “Nih, makasih ya,” ucapnya setelah mendapatkan apa yang dia cari.
Tirta mengangguk dan memasukkan komik itu ke dalam tasnya. “Ya udah, duluan ya.”
“Eh, tunggu, Ta! Lo bawa motor, kan? Bareng dong, si Inka udah pulang duluan, katanya mau ngerjain tugas,” ucap Indri sebelum Tirta menjauh.
“Oh, ya udah, ayo.” Indri mengangguk dan pamit kepada sahabatnya yang lain, kemudian mengekor di belakang Tirta.
Rumah mereka memang searah. Bukan hanya searah, sih, tapi bersebelahan. Bahkan balkon kamar Indri menyatu dengan balkon kamar Tirta. Itulah mengapa mereka bisa bersahabat sejak lama. Mereka hanya perlu melompati pagar balkon kalau mau mengobrol.
Indri langsung naik ke boncengan dan motor Tirta pun melaju dengan cepat meninggalkan sekolah. Sepanjang perjalanan mereka hanya diam. Setengah jam kemudian motor Tirta berhenti di depan rumahnya.
“Thanks, Ta,” ucap Indri. Tirta hanya mengangguk dan masuk ke dalam rumahnya sendiri.
Indri bergegas masuk ke kamarnya sebelum adiknya mencegatnya. Sebelum tiba di pintu, ia baru sadar kalau motornya belum ada di halaman. Itu artinya Inka belum pulang. Dia menghembuskan napas lega dan masuk ke kamarnya dengan santai. Sungguh, ia ingin menghindari adiknya. Ia merasa lelah menjadi pengantar pesan terus oleh adiknya.
Gadis itu mengganti pakaiannya dan menghempaskan tubuh ke atas kasur. Setelah memutar lagu Phil Collins, You’ll Be In My Heart, dia memejamkan mata sejenak.
Bunyi samar kegaduhan di luar jendelanya mendadak membangunkan Indri yang hampir saja terlelap tidur. Ia mengernyitkan dahi dan berjalan ke arah balkon kamarnya. Tirta sedang sibuk membereskan kursi di balkon kamarnya dengan keributan.
“Lo ngapain sih, Ta? Berisik banget,” ucap Indri.
Dia mendongak sejenak dari apa pun yang sedang ia kerjakan. “Hai, Dri. Ganggu ya? Sorry, ya. Gue lagi berinovasi nih, mau ngecat ulang kursinya. Bosen sama cat ini.”
“Perlu bantuan gue?” tawar Indri.
Tirta menyengir. “Ya ampun, sahabat gue yang satu ini baik banget, sih. Sini dong bantuin.”
Indri memutar bola matanya sejenak. Lalu cewek itu melompati pembatas balkon. Dia mengambil cat dan kuas lain di dekat Tirta, lalu mulai mengecat satu bangku sementara Tirta mengecat satu lagi.
“Ta, gimana sama Dea? Udah mulai deketin belum?” tanya Indri memancing. Indri memang suka meledeknya sejak tahu kalau cowok itu menyukai Dea, sahabatnya. Tirta hanya menggeleng sambil tetap mengecat kursinya dengan serius.
“Tuh, kan. Mau gue bantuin gak? Kalau gue gak turun tangan, lo gak akan mau maju. Minimal ajak dia ngobrol, kek. Seinget gue, gue pernah ngasih nomor Dea ke lo, kan? Udah lo coba sms? Dia bales, gak?” tanya Indri.
“Nomornya hilang,” jawab Tirta tak acuh.
“Ya ampun, Ta. Kalau semua cowok kayak lo, gue yakin gak akan ada pasangan di dunia ini. Dibantuin nolak, gak dibantuin gak mau bertindak. Nanti kalau sahabat gue itu sampai jadian sama cewek lain emang lo rela? Udah siap patah hati?”
“Ck, kalau dia sampai sama cowok lain, itu artinya kita emang gak jodoh. Gampang, kan?”
Indri mengernyitkan dahinya. “Gue jadi bingung, deh. Lo tuh beneran suka sama Dea apa enggak, sih? Oke, gue emang gak suka jadi mak comblang, tapi untuk kalian berdua gue rela kok.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Story 3 | When Indri Falling in Love
JugendliteraturCinta itu indah, cinta itu bahagia. Tapi apa jadinya kalau cinta membuat hubungan Kakak adik yang erat putus begitu saja? Akankah cinta itu tetap terlihat indah? Bisakah rasa cinta membunuh hubungan darah? Atau sebaliknya, bisakah hubungan darah men...