Inka merasa sepi. Rumahnya tidak seramai dulu lagi sejak Indri memutuskan pergi. Di satu sisi ia ingin mencoba tak peduli dengan kakaknya itu, tapi di sisi lain dia merasa menyesal.
Indri kabur karenanya, karena pertengkaran mereka. Seandainya ia bisa minimal tetap berbicara dengan kakaknya, Indri pasti masih tetap ada di sana. Inka sudah mencari Indri di semua tempat yang dia pikir akan dikunjungi Indri. Tapi hingga detik ini, dia masih belum bisa menemukan Indri dimana pun.
Gadis itu berbaring dia atas kasur Indri. Dia bingung apa yang harus dia lakukan sekarang. Kemarin ia memang merasa amat kesal dengan Indri, tapi setelah dipikir ulang, Indri bukan pihak yang salah di sini. Tetap saja bagi Inka kakaknya itu telah menyakitinya.
Beberapa menit kemudian ia mendengar suara pintu sebelah rumahnya dibuka. Ia turun dari kasur dan membuka pintu menuju balkon di kamar Indri. Tirta menatapnya dari tempat duduknya di balkon.
“Inka? Gue pikir Indri udah pulang,” ucapnya saat melihat Inka di sana.
Inka menghampirinya pelan. “Kak Tirta, lo beneran gak tau Kak Indri ada dimana?” tanyanya untuk ke sekian kalinya.
Tirta hanya menggeleng. “Lo masih nyari Indri? Buat apa? Bukannya lo seneng dia gak ada di rumah? Kan dia cuma seorang penghianat menurut lo.”
Inka berdiri di pinggir pagar. Pertanyaan Tirta membuatnya merasa seperti tertuduh mencuri manga tetangga. “Kok lo jadi sinis gini, sih?”
“Lho, gue gak sinis kok. Emang itu kenyataannya, kan? Lo diemin dia sejak Zian nembak dia, menurut lo gimana perasaannya? Yah, gue gak bisa salahin lo juga sih, karena gue juga gak ngerti apa yang lo rasain waktu liat cowok yang lo taksir malah nembak kakak lo sendiri.”
Inka menunduk diam. “Lo emang gak ngerti gimana perasaan gue. Gue naksir Zian, tapi dia nembak kakak gue sendiri. Padahal Indri tau gue suka sama Zian, kenapa dia malah ikut deket sama cowok itu juga.”
“Indri gak pernah deketin Zian. Takdir yang deketin mereka. Kenapa lo gak coba ngomong langsung sama Zian? Mereka gak akan pernah dekat kalau gak ada tugas kesenian itu. Lagian lo childish banget ya? Kenapa lo cuma nyalahin Indri? Apa itu salah dia kalau kedekatan mereka bikin Zian jatuh cinta sama dia? Lo egois, Ka. Lo mau Zian buat lo apa pun caranya, meski itu dengan nyakitin saudara kandung lo sendiri.”
Inka meneteskan matanya. Ia jarang mengobrol dengan Tirta. Tapi sekalinya mengobrol, omongan cowok itu langsung menusuk ke dalam jantungnya.
“Ka, emang lo lebih sayang sama siapa, sih? Indri, Kakak lo, atau Zian? Siapa yang selalu ada di samping lo selama ini? Harusnya lo buka mata, Ka. Kalau lo gak minta Indri untuk kirim surat diam-diam buat Zian, Zian gak akan salah paham soal surat itu.”
“Zian salah paham? Maksudnya?” tanya Inka bingung.
“Bahkan lo gak tau cerita lengkapnya, kan? Lo gak pernah kasih Indri kesempatan buat jelasin semuanya, itu satu kesalahan terbesar lo. Zian itu mergokin Indri waktu dia nyepipin surat lo ke dalam tasnya. Zian gak pernah nanya apa pun ke Indri dan langsung menyimpulkan kalau surat itu Indri yang nulis. Itu alasan dia sampe nekat nembak Indri.” Tirta diam sejenak.
“Sekarang kalau lo pikir lagi, siapa yang salah? Indri yang cuma berniat bantuin adiknya untuk pedekate dengan teman sekelasnya? Zian yang tanpa sengaja bisa jatuh cinta dengan cewek setomboy Indri? Atau lo yang selalu maksa Indri kirim surat cinta lo itu? Lo udah cukup dewasa kok untuk memutuskan jawabannya,” lanjut Tirta.
Inka terisak. “Iya, lo benar. Gue yang salah, Kak. Harusnya sejak awal gue coba jujur sama diri gue sendiri. Harusnya gue langsung kenalin diri gue ke Zian. Harusnya gue gak marah sama Indri. Gue tau gue terlalu kekanakan untuk hal sepele kayak gini. Tapi jangan mojokin gue terus kayak gini, Kak.”
“Sorry kalau lo ngerasa gue pojokin. Kalau gak kayak gini, lo gak akan pernah sadar, Ka. Gue kasian sama Indri karena selalu jadi pihak yang bersalah di mata lo. Gue cuma mau lo liat realitanya sebelum lo bisa nyalahin Indri,” ucap Tirta.
“Gue nyesel, Kak. Gue mau minta maaf sama Indri, tapi gue gak bisa nemuin dia. Gue gak tau dia ada di mana,” ucapnya pelan.
Tirta berjalan masuk ke kamarnya dan kembali beberapa saat kemudian. “Indri kerja di sana. Lo temuin aja dia. Gue rasa kalian harus bicara baik-baik.”
Inka mengambil alamat itu dari tangan Tirta. “Jadi selama ini lo tau Indri ada di mana?”
Tirta mengangguk. “Bukan cuma gue, tapi Dea juga. Indri tinggal di sana selama ini.”
Inka menatap kertas alamat itu. “Makasih, ya, Kak.”
Tirta mengangguk. “Ka, jangan ulangin kesalahan yang sama.” Lalu cowok itu berjalan kembali ke kamarnya.
“Kak?” panggil Inka ragu sebelum Tirta sampai di pintu. Dia menoleh ke arah Inka.
“Lo juga jangan terlalu lama mendam perasaan, ya,” ucapnya kemudian.
“Maksud lo?” tanya Tirta bingung.
“Gue rasa lo suka sama kakak gue. Gak usah disembunyiin lagi. Lo terlalu peduli sama dia. Sikap lo gak menunjukkan itu semua sebagai sahabat, tapi sebagai seorang cowok untuk cewek yang dia sayang.”
“Jangan ngaco lo,” ucap Tirta mengelak.
Inka menatap mata Tirta dalam. “Jujur aja, lo suka kan sama Indri? Lo gak akan susah-susah ngurusin masalah ini kalau gak ada apa-apa di hati lo buat dia.”
Tirta hanya diam. “Ya udah, kalau gak mau ngaku. Tapi kalau lo emang sayang sama kakak gue, tolong jaga dia ya? Jangan pernah sakitin dia,” ucap Inka lalu masuk ke dalam dan menutup pintu di belakangnya.
Tirta masih berdiri mematung di depan pintu kamarnya. Gue cinta sama dia? Kenapa Inka bisa menyimpulkan secepat itu? Jangan sampai Inka bilang ini semua ke Indri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sweet Story 3 | When Indri Falling in Love
Teen FictionCinta itu indah, cinta itu bahagia. Tapi apa jadinya kalau cinta membuat hubungan Kakak adik yang erat putus begitu saja? Akankah cinta itu tetap terlihat indah? Bisakah rasa cinta membunuh hubungan darah? Atau sebaliknya, bisakah hubungan darah men...