Part 11 : When He Say His Feeling

171 12 0
                                    

Inka membuka pintu kamar Indri ragu. “Kak, boleh masuk?” Indri hanya mengangguk.

“Kak, gimana lo sama Kak Tirta?” tanyanya tiba-tiba.

“Kenapa emang sama gue dan Tirta?” tanya Indri bingung.

Inka melirik kakaknya ragu. “Kak Tirta suka sama lo, Kak.”

Indri seketika tertawa geli mendengar ucapan adiknya. “Suka apaan? Suka bercanda sama gue? Ya gak mungkin, lah. Tirta itu naksir sama Dea.”

“Lo yakin? Gue bisa baca sikap dia lho, Kak. Dia peduli banget sama lo. Bukan kayak sahabat, Kak, tapi kayak cowok pada umumnya ke cewek yang dia suka. Kemaren gue nanya ke dia, tapi dia gak mau ngaku, malah salah tingkah waktu gue tebak kalau dia suka sama lo.”

Indri diam membisu. Jantungnya tak tahu berdetak berapa kali dalam semenit saking cepatnya degup jantungnya. “Ngaco, lo,” ujarnya pura-pura tak peduli.

Kemudian terdengar bunyi rusuh di balkon sebelah. Inka melirik ke arah jendela lalu menatap kakaknya lagi. “Tuh orangnya keluar. Lo tanya aja sendiri kalau gak percaya.” Dia kemudian turun dari kasur dan pergi meninggalkan kamar Indri.

Indri diam di tempat tak tahu harus berbuat apa. Ia ingin melangkah ke arah balkon tapi takut. Setelah selama lima belas menit menimbang, dia pun berjalan ke arah balkon kamarnya dan membuka pintu. Tirta menatapnya sambil tersenyum.

“Hai,” sapanya. Indri hanya tersenyum kikuk.

Thanks, ya, Yan, atas bantuan lo gue sama Inka baikan lagi,” ucap Indri.

“Iya, sama-sama. Lagian kalau gak gue bantu nanti lo gak pulang-pulang. Gak ada yang nemenin gue ngobrol di sini,” ucapnya.

“Kenapa emang kalau gue gak bisa nemenin lo ngobrol? Kangen ya?” tanya Indri. Tirta hanya menggerlingkan matanya tanpa menjawab.

 Indri tertawa melihat keengganannya untuk mengaku kangen. “Lo tau gak sih hal konyol apa yang adik gue bilang barusan?”

“Apa?” tanya Tirta acuh tak acuh.

“Dia bilang lo suka sama gue. Bodoh banget, kan?” Indri tertawa geli.

Tirta hanya diam membeku. “Emang itu lucu?” tanyanya. Indri menghentikan tawanya dan menatap Tirta bingung.

“Emang salah kalau gue suka sama lo? Yang Inka bilang emang bener, kok. Gue naksir lo. Udah lama malah. Terus ada yang salah?” tanya Tirta dengan nada dingin.

Indri tak mampu menjawab hanya bisa menganga tak percaya. “Tapi lo bilang lo suka sama Dea,” ucap Indri bingung.

“Gue bilang gitu buat nutupin perasaan gue sendiri. Gue takut semuanya berubah kalau gue ngaku yang sebenarnya sama lo. Gue gak mau bikin lo menjauh andai gue bilang yang sebenernya. Tapi karena sekarang lo udah terlanjur tau, lebih baik gue ngaku aja, kan?”

Indri diam mematung. “Jadi alasan lo gak kunjung bergerak mendekati Dea karena sebenernya lo gak punya perasaan apa pun buat dia?” tanyanya bodoh.

“Gue rasa gue gak perlu jawab pertanyaan konyol macam itu. lo udah dewasa kok untuk nyimpulin sendiri.”

Indri hanya diam memainkan jarinya dengan perasaan tak tentu. Apa yang harus dilakukan sekarang? Harusnya tadi dia tak perlu memulai percakapan ini.

Tirta menghembuskan napasnya lelah. “Bener, kan, kata gue. Sekarang lo cuma diam. Liat aja besok, lo pasti mulai menghindar,” ucapnya.

“Terus gue harus apa?” tanya Indri polos.

“Jadi pacar gue aja, deh.” Itu bukan pertanyaan tapi lebih seperti perintah untuk Indri.

Indri menganga lagi. “Hah? Tapi… ng… kita kan sahabat… gue…” Dia bingung apa yang sebenarnya ingin keluar dari mulutnya sendiri.

“Gak salah kok. Sahabat jadi cinta udah terjadi dimana-mana kali. Mau apa enggak?” Tirta menatap Indri dengan senyum jenaka.

Indri menggaruk kepalanya yang tak gatal. “Oke.”

Kini Tirta gentian membeku. Ia awalnya berpikir gadis itu akan memukulnya atau hal apa pun yang bisa menandakan bahwa gadis itu menganggap dirinya hanya bercanda. Tapi tadi dia jawab apa?

Tirta kembali menatapnya tak percaya. “Lo bilang apa?”

“Oke. Gue sekarang pacar lo. Ya, kan?”

“Ah! Gue pikir lo bakal ninggalin gue kayak orang bego di sini. Jadi sekarang ada yang mau sama gue? Akhirnya…” Dia menghembuskan napas dengan gaya berlebihan. Indri memukulnya sambil tertawa. Tirta ikut tertawa bersamanya.

“Ehem, bisa jatuh cinta ceritanya, nih?” Inka berdeham dari ambang pintu.

Indri dan Tirta menoleh. “Wah, lo nguping ya?” tuduh Indri.

“Siapa? Gue gak nguping kok, cuma ngintip. Ah, bodo, deh. Yang penting lo harus lunasin utang taruhan lo karena Tirta bisa bikin lo jatuh cinta sebelum lulus SMA.” Dia tersenyum puas. “Asik, sebulan gratis makan,” ucapnya girang.

Indri memukul Tirta sebagai gantinya. ”Lo sih nembaknya sekarang. Ntar aja kalau kita udah lulus.”

“Lah, lo ngapain nerima sekarang? Harusnya lo terima ntar aja kalau kita udah lulus.”

Inka tertawa melihat pasangan bodoh itu. “Bodo, ah. Yang penting lunasin taruhan lo, sekaligus PJ buat gue.” Dia lalu berjalan masuk lagi ke kamar Indri.

Indri hanya bisa menghembuskan napas pasrah. Mereka saling menatap sekali lagi dan tertawa bersama mengingat perubahan status mereka sekarang.

Sweet Story 3 | When Indri Falling in LoveTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang