#23 Make A Deal

239K 17.4K 1.6K
                                    

Pembicaraan semalam membuat mata gue ngga bisa memicing sepanjang malam. Pikiran gue melanglang buana entah kemana. Tiap kali mencoba memejamkan mata, kumpulan puzzle berbondong-bondong hadir di balik kelopak mata. Membentuk potret Uni dalam balutan gaun putih dengan perut membesar, memandang gue sendu. Jejak-jejak air mata hitam akibat lunturan maskara tampak menganak sungai dipipinya.

Seakan di setting slideshow, potret itu akan berganti. Menyuguhkan gambar Papa, Mama, Bude Aida dan terakhir Pak Nugra. Masing-masing menampilkan ekspresi berbeda. Namun satu ekspresi yang selalu terngiang diingatan gue, ekspresi Pak Nugra. Tatapan datar dengan sebuah seringaian terbit dibibirnya. Seringaian? Ekspresi itu terlalu janggal untuk seorang Pak Nugra.

Puzzle-puzzle itu akan bergerak bergantian, mengulang potret mereka lagi dan lagi. Jika sudah begitu, gue akan membuka mata dan mengusap wajah kasar. Begitulah kejadiannya sepanjang malam.

Hingga adzan subuh berkumandang, mata gue masih terus terjaga tanpa rasa kantuk sedikit pun. Duduk terpekur di meja makan semalaman bikin gue banyak berpikir. Gimana kalo Pak Nugra cerain gue? Masa belum genap seminggu nikah gue udah jadi janda? Terus gimana nasib Uni? Nasib calon bayinya? Gimana reaksi Mama sama Papa? Gimana nasib gue nanti setelah jadi janda? Apa kata orang-orang di kampung kalo tau gue cerai? Apa kata Jokowi? Apa kata Donald Trump? Apa kata rakyat Indonesiaaaaaaaa?!

Nehi. Pikiran kampret ini mesti disingkirkan. Pak Nugra ngga akan ngambil keputusan gegabah seperti itu. Gue yakin. Cerai itu bukan perkara gampang coeg. Prosesnya lama, panjang. Tali kutang aja kalah panjang. Sidangnya lebih-lebih dari sidang kasus kopi si-anida. Daripada disidang berkali-kali nantinya malah jadi janda, mending gue di sidang sekali tapi rewardnya di wisuda. Betul tidak?

Positif thinking Juni. Pikirin yang indah-indah. Bibir seksinya Theo James contohnya. Bokong asoy-nya Channing Tatum misalnya. Mata indahnya Crish Pine. Atau kalo ngga yang manis-manis gula Jawa, jakun seksinya Mas Rory Asyari. MasyaAllah itu laki syahdu bener.

Gue menarik napas dalam lalu membuangnya lewat mulut perlahan. "Hah. Gue siap. Apapun yang terjadi nanti, gue bakal hadapi." berdiri di depan pintu kamar Pak Nugra. Telunjuk gue menuding pintu tak bersalah itu sengit. "Lu, bilang sama tuan lu, kalo dia mau cerain gue. Gue minta harta gono gini di bagi rata. Titik."

Selesai gue berujar, pintu itu bergerak di tarik dari dalam. Sosok pria berkoko putih dan bersarung tampak setelah pintu terbuka lebar. Ngga lupa kopiah hitam menghiasi rambutnya yang selalu klimis itu. Wajahnya basah karena air wudhu. MasyaAllah ini Pak Nugra? Semilir angin sorga banget.

Pak Nugra nampak terkejut namun ngga sampe sepersekian detik ekspresinya berubah datar. Membuat gue menurunkan tangan yang tadi menuding pintu dan mengkerut di tempat salah tingkah.

"Pak.."

"Minggir." katanya dingin.

Bujubuneng. Galak amat.

Gue bergeser dua langkah ke kanan, patuh. Pak Nugra berjalan cepat menuju pintu depan.

"Bapak mau kemana?"

"Menurut kamu kemana orang dengan pakaian seperti ini akan pergi di jam segini." jawabnya sarkartis sebelum menutup pintu.

"Ke masjid woi ke masjid. Ngga mungkin ke alexis, udah tutup." rutuk gue. Belum semenit bikin terpesona udah bikin kesal lagi aja. Tuh laki sekali ngambek bikin naik tensi.

Berlalu ke kamar. Gue juga menunaikan kewajiban sebagai seorang muslim. Jangan ditanya kamar yang mana. Yang jelas bukan kamar Pak Nugra. Sejak pertama masuk ke rumah ini, kamar yang ada di sebelah kamar Pak Nugra sudah gue deklarasikan menjadi kamar gue. Bodo amat sama si lengan meriam, yang penting gue tidur nyaman, tentram dan aman.

Suami Satu Semester (SUDAH TERBIT)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang