Safe and Sound

587 65 43
                                    

Alif yang baru saja selesai rapat himpunan mahasiswa bersama teman sejurusannya, mengambil ponsel dari saku celana. Saat menyalakan benda pipih itu, ia mendapati sebuah pop up notification dari Whatsapp yang dikirim oleh Atha.

Lif, gue butuh lo.

Alih-alih membalas pesan itu, Alif justru sigap menelepon pemuda itu. "Kamu di mana?" sahut Alif saat sambungan teleponnya diterima oleh Atha.

"Kosan," lirih Atha, diiringi sesenggukan.

Pikiran Alif tak tenang. Tentu saja, ia tak pernah mendapati Atha menangis. Tapi kali ini, dia amat terkejut dengan keadaan sahabatnya itu. "Saya segera ke sana. Jangan ke mana-mana!" ucap Alif terburu-buru. Ia matikan teleponnya dan berlari ke arah parkiran.

Alif mengendarai motornya secepat yang ia bisa. Hanya ada satu hal di pikirannya, ia harus memastikan bahwa Atha baik-baik saja. Jujur, hatinya tak tenang. Jantungnya berdetak lebih kencang dari biasanya. Entahlah, padahal biasanya jika ia khawatir pada Damar, ia tak pernah merasa sekhawatir ini. Mungkin, karena memang Atha tak pernah terlihat sejatuh ini sebelumnya.

Saat Alif sampai di kosan Atha, ia melihat kamar itu dalam keadaan gelap. Ia mengetuk pintunya, tapi tak ada tanggapan. Alif mencoba untuk membuka pintu itu dan ternyata papan kayu itu tak dikunci-entah sengaja atau tidak. Ia masuk, lalu mencari saklar lampu kamar itu.

Alangkah terkejutnya Alif saat mendapati Atha sedang menangis di atas ranjang. Tak tahu apa-apa, Alif hanya mengikuti intuisinya, dipeluklah tubuh sahabatnya itu lalu mengusap punggung pemuda itu hingga Atha merasa tenang.

"Ada apa, Tha?"

"Ing-grid," jawab Atha terbata-bata, karena sesengguknya masih mendominasi.

Inggrid itu siapa? Alif membatin. Alif tahu ini bukan saatnya menanyakan penyebab Atha seperti ini. Ia harus menenangkan sahabatnya dulu. Pasalnya tubuh Atha kelelahan, pemuda itu butuh istirahat.

Dibaringkanlah tubuh Atha, sambil terus menenangkannya. Atha tak ingin melepas genggaman tangannya dari lengan Alif. Hingga ia terlelap karena kelelahan. Sedangkan Alif mulai melepaskan lengannya. Lalu ia merogoh ponselnya dan segera menghubungi Damar.

***

"Tha, gue mohon sama lo. Gue nggak tahu harus minta tolong ke siapa lagi." Inggrid menatap Atha dengan ekspresi memelas.

Pemuda yang duduk berhadapan dengan perempuan itu hanya bergeming. Kepalanya dipenuhi hal-hal yang tak bisa ia nalar. Tapi ia juga tidak bisa berbuat apa-apa, pasalnya Inggrid bukan tanggung jawabnya lagi. Papanya lah yang harusnya melindungi istri mudanya itu. Lagi pula, usia kandungan Inggrid sudah masuk bulan kesembilan-yang artinya sebentar lagi adik tirinya akan lahir.

"Tha...," lirih perempuan itu. Tangannya berusaha menarik tangan Atha, namun langsung ditepis oleh pemuda itu.

"Dari siapa lo tahu gue tinggal di sini?" Atha berusaha mengalihkan pembicaraan mereka.

"Nggak penting. Gue cuma pengin lo pulang ke rumah dan bantu jagain gue."

"Maaf, lo bukan tanggung jawab gue lagi, Nggrid."

"Tapi...,"

"Nggak. Gue mohon lo pulang ke rumah lo itu. Gue nggak mau berhubungan lagi sama penghianat kayak kalian berdua. Gue sudah muak. Nggak Papa, nggak lo, sama saja kelakuannya."

"Tapi Papa lo sekarang pergi ninggalin gue, Tha."

"Itu bukan urusan gue. Itu urusan rumah tangga kalian. Harusnya kalau lo memang cinta sama Papa, dia nggak bakal ninggalin lo."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Oct 05, 2017 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

PUINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang