(G)emerlap Jakarta

205 4 2
                                    


Aku benci kota ini.

Empat kata yang selalu melayang layang dalam kepalaku setiap pagi saat melintasi jalan raya Ibu Kota. Kalau kota ini diibaratkan warna, pasti warnanya abu-abu. Tidak menarik. Coba lihat di trotoar sana, laki-laki paruh baya berjalan cepat dengan muka masam karena masih lelah kemarin lembur. Sekarang tengok ke kiri, perempuan muda itu berjalan sangat lama, fokus ke handphonenya. Harusnya dia lihat orang lain di belakang sudah merah wajahnya, mau dilemparnya mungkin handphone si mbak itu supaya jalannya jadi cepat. Sekarang lihat kedepan, lihatkan antrian panjang mobil dan suara klakson yang bergantian dari angkot sampai metromini itu? Bising. Berisik. Belum lagi pengendaanya tidak bisa berhenti mengomel dan menggerutu. Sekarang tahu kan kenapa aku benci kota? Khususnya tempat aku berada sekarang ini, Jakarta.

"Thet, udahlah jangan manyun terus. Hepi dikit lah, kaya baru sekarang lewat jalan sini aja sih", Vinna lalu mencubit lenganku, aku menoleh, "Hepi kata lu? Dikira lagi di Dufan apa ya", ujarku sambil memutar bola mataku. Vinna tertawa, "Masih mau pindah? Tega banget sih ninggalin gue sendiri".

Aku menghela nafas panjang.

Ya, bukan sekali kok aku berfikir mau pindah.

Kota manapun, asal bukan yang ini. Yang abu-abu.

"Masih. Makanya ikut aja kalo gue pindah, engga capek apa tiap hari gini terus?", ujarku kepada Vinna.

"Gampang ya pindah-pindah, duit aja pas-pasan", Vinna lalu mendengus.

Vinna dan aku sudah bersahabat selama kurang lebih delapan tahun. Kami selalu pergi ke sekolah yang sama, kami diterima di universitas yang sama dan sekarang memutuskan untuk tinggal di rumah yang sama setelah mulai masa magang. Vinna tahu betul aku benci kota ini dan segala kebisingannya. Mungkin ini kedengarannya berlebihan, tapi aku memang sudah muak dengan kehidupan di kota ini. Tempat dimana orang-orang yang hidup tanpa menoleh kesekitarnya. Hanya menghadap kedepan, kuping tertutup, bibirnya juga tidak bersenyum. Aku lebih memilih untuk pergi jauh dari kebisingan dan menetap di suatu tempat yang damai, tentram. Bukan kota besar seperti ini. Entahlah, Yogya mungkin?

Tapi siapa sangka kalau hati dan pikiran manusia mudah berubah?

Seperti benciku.

Semuanya dimulai saat dua mata coklat itu menatapku di bawah langit malam kota Jakarta. Membuatku jatuh cinta pada dua hal; gemerlap warna-warni Ibu kota dan pemilik sepasang mata coklat yang berdiri di hadapanku.

***

Aku bertemu Alva di tengah keramaian Ibu kota. Saat itu hujan deras, orang-orang berdesakkan di halte bus sambil menunggu datangnya bis dengan tidak sabar. Hampir semua orang, kecuali Alva.

Mata coklatnya menatap sekeliling dengan tenang. Ia duduk di kursi halte dengan paper tube yang diselempang di punggungnya, ia mengenakan jaket jeans dengan lengan yang digulung dan converse biru yang agak lusuh. Aku berdiri di depannya saat menunggu bus, kedinginan dan menggerutu. Aku tidak biasa naik bus kota, aku dan Vinna baru saja pindah ke tempat baru dan hal ini memaksakku untuk beradaptasi dengan bus kota. Satu persatu orang-orang berdiri dan pergi meninggalkan halte. Sekitar tiga puluh menit aku berdiri disitu, menunggu bus yang tak kunjung datang. Lelah dan jenuh, pikiranku dipenuhi dengan berbagai hal dan terasa begitu berat. Sampai sebuah tepukan hangat di lenganku dan wajah asing yang tiba-tiba muncul di hadapanku membuyarkan semuanya.

"Maaf, gue coba panggil lu daritadi tapi kayanya lagi banyak pikiran ya sampai bengong gitu?", wajah itu tersenyum. Senyumnya manis. Senyum itu milik Alva.

Aku hanya terdiam, kaget.

"Ini, jatuh dari tas lu. Hati-hati ya, handphone makin mahal aja harganya, sayang kalau hilang", ia lalu menyodorkan handphoneku, aku menerimanya dengan canggung.

A Book Full Of Thought (bahasa)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang